Warning: "It is strongly prohibited to copy or distribute the content without the permission of the author"

Best Regard,
L.M.R. Pradana






Ini adalah edit ke-9, hahaha....
Maaf sebelumnya, aku hanya bisa menyajikan 50 halaman pertama pada kalian (tentu-nya aku tidak mau tersangkut masalah dengan pihak penerbit), tapi tentu saja dalam blog ini kalian bisa mengetahui lebih jauh hal-hal di luar cerita :D

*edit*
Well, sepertinya bab 5 tidak bisa dipisahkan. So, dengan adanya tambahan bab 5 ini, berarti seluruh "bagian 1" cerita udah lengkap. (total semua 66 halaman)

Selamat menikmati :)

Feb 21, 2010

4.

Panggung Drama

Aku berdiri di pinggir panggung, menatap para pemain yang tengah berakting. Ini adalah adegan menjelang puncak. Seorang masuk, mengabarkan kedatangan pasukan dari medan perang pada Erin, pemeran utama wanita. Ceritanya sendiri dibuka dengan adegan yang menggambarkan keruntuhan sebuah kerajaan setelah meninggalnya sang raja, ayah dari Erin. Daerah jajahannya pun berjuang melepaskan diri, memanfaatkan ketidakstabilan politik. Di situasi yang tidak menentu, militer mengambil alih pemerintahan, dipimpin oleh Ivan yang berjanji akan mengembalikan pemerintahan pada keluarga raja setelah situasi kembali stabil.

Awalnya Erin mencurigai niat Ivan sebagai bentuk tipu muslihat untuk mencari dukungan dari orang-orang terdekat raja, sekaligus meraih simpati rakyat. Beberapa langkah politik telah diambil Ivan untuk meyakinkan Erin, tapi dia tetap saja tidak dipercaya. Kali ini Ivan berangkat ke medan perang, setelah sebelumnya melakukan sebuah pertaruhan dengan Erin: jika Erin bisa menjaga kestablian politik sampai ia kembali, maka Ivan tidak akan kembali lagi ke ibukota, di lain pihak Ivan menginginkan stempel keluarga raja.

Kemudian adegan-adegan seputar kesulitan yang dihadapi Erin pun dipentaskan. Dia jadi tahu bahwa keluarga sendiri pun belum tentu bisa dipercaya dalam situasi tersebut. Pada akhirnya, Erin memutuskan untuk meminta nasihat pada Ivan. Sekarang, bagi Erin, satu-satunya yang bisa dipercaya hanyalah kurir pembawa surat. Semua pemikiran Ivan dan keluh-kesah Erin menjadi poros dalam drama ini. Tapi Erin tidak bisa memahami maksud dari salah satu isi surat Ivan yang mengatakan bahwa ia telah mendapatkan stempel itu—dengan bantuan Ivan, Erin berhasil menjaga kestabilan politik dan itu berarti dirinya lah yang memenangkan pertaruhan itu.

Lampu mendadak padam, sebagai tanda berakhirnya adegan Erin yang sedang menunggu kedatangan pasukan Ivan yang berjalan memasuki ibukota. Mereka menang gemilang, setelah hampir satu tahun berjuang di perbatasan. Erin sudah lelah berada dalam intrik politik—dan dengan segala curahan pemikiran Ivan di setiap suratnya, Erin kini yakin bahwa kerajaan ayahnya sekali lagi akan kembali ke masa jaya-nya di tangan Ivan – yang akan menjadi raja selanjutnya, dengan Erin sebagai ratunya. Dia memang telah mendapatkan stempel itu, juga hati Erin.

Dalam keadaan lampu yang padam ini, aku dan crew lainnya segera berlari menyingkirkan properti, mengganti dengan yang untuk setting berikutnya. Dekorasi dan properti ditempatkan sedemikian rupa hingga mengesankan seolah-olah berada pada aula utama istana. Seseorang di pinggir panggung memberi kode pada kami untuk bergegas. Setelah selesai dengan urusan tata panggung, kami pun segera menyingkir.

Lampu kembali menyala. Putri Erin, yang saat ini telah mengenakan pakaian kebesaran-nya, menyambut perwakilan pasukan yang baru datang dari medan perang, di aula utama istana. Dia terlihat cemas ketika melihat wajah murung setiap prajuritnya.

“Ada apa? Bukankah kalian diberitakan menang gemilang?” Tak satu pun prajurit menjawab pertanyaan Erin – mereka semua hanya saling lirik satu sama lain. “Di mana Ivan?” kali ini dia bertanya pada Issac sebagai pimpinan pasukan, yang dikenalnya sebagai orang kepercayaan Ivan. Dalam hati, Erin bertanya-tanya apakah Ivan tidak lagi memimpin pasukannya untuk membuktikan janjinya bahwa ia tidak akan lagi menginjakkan kaki di ibukota, sebagai konsekuensi telah kalah dalam pertaruhan yang mereka sepakati. Tapi Erin saat ini ingin bersua dan bertukar pikiran dengannya. Namun melihat paras murung setiap prajuritnya, pikiran Erin terus memaksanya memikirkan kemungkinan lainnya, yang jauh lebih buruk dan mengerikan.

Masih dengan posisi berlutut menundukkan kepala, Issac menjawab, “Kurir yang membawa perintah pada saat itu tak kunjung datang. Pasukan tak bisa bergerak tanpa perintah. Kami tahu jika tak segera bergabung dengan pasukan Jendral Ivan, Alvez akan jatuh. Hari berikutnya prajurit patroli mengabarkan adanya jejak kaki kuda yang terputus—kurir telah diserang. Kami terlambat”.

Hati Erin bergetar mengetahui bahwa bisikan-bisikan yang terus dibantahnya ternyata benar, tapi dia masih sulit percaya Ivan yang dikenalnya dengan segala pemikiran briliannya takluk oleh perang yang bahkan dimenangkannya. “Kalian menang gemilang!” Erin meraung marah.

Nyali prajurit langsung ciut, namun Issac memberanikan diri untuk menanggapinya, “Putri Erin, tidak ada gunanya menangis untuk Jendral”.

“Apa katamu, Issac?” Erin tersinggung; dia tidak menangis! Tapi bukan karena itu sebenarnya ia tersinggung, “Tidakkah kau merasa kehilangan atas komandanmu? Atau kau merasa jasamu lebih berarti bagi negara ini?

“Ini perang; kematian adalah siklus di dalamnya”, Issac sekali lagi menimpali pertanyaan Erin, Tanpa kematian, pihak penguasa tidak akan pernah sadar”, Issac meneruskan ucapannya, tetap menunduk dan tidak mengetahui Erin yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Tuan Ivan adalah maut, yang hidup dengan membunuh dan membunuh. Dia—“

Pedang Erin terhunus, berada tepat beberapa senti di depan wajah Issac, “Baru beberapa waktu tadi aku memertimbangkan untuk memberinya gelar kepahlawanan. Kurasa kau pasti tahu bahwa menghina seorang pahlawan berarti hukuman mati”.

“Jangan sampai putri mencintai orang yang salah”.

Kalimat itu menusuk Erin. Kata-katanya terlampau lancang. Jika itu adalah hal yang ingin disampaikan Ivan, mungkin ia masih bisa memberi maaf, tapi jika tidak itu jelas berarti penghinaan bagi keluarga raja. Dan kalimat itu bahkan menusuk jauh lebih dalam, memaksa Erin berujar tanpa topeng seorang pemimpin negara, yaitu sebagai seorang gadis biasa, “Kau mengerti apa? Prajurit sepertimu yang hanya tahu perang menceramahiku tentang cinta? Kau bilang aku telah salah memilihnya? Dia memiliki hati, sesuatu yang tidak kalian miliki. Dan semua hal yang kau katakan adalah omong kosong!”

“Terima kasih telah percaya padanya. Tuan Ivan pasti senang mendengarnya”, gumam Issac.

“Kau mengatakan sesuatu, prajurit?” Erin mendengarnya dengan amat jelas. Kali ini dia akan memutuskan hukuman penggal jika Issac tak memberikan penjelasan yang layak.

“Tuan Ivan ada di balik pintu, mendengarkan”.

Erin tersentak, “Katamu dia—“

Maafkan hamba telah terpaksa berlaku lancang, Tuan Putri Erin, tapi hamba tidak ingat pernah berkata bahwa Tuan Ivan telah gugur dalam perang”.

Erin terdiam tak mampu berkata-kata untuk sesaat. Dia kemudian berteriak marah, “Ivan! Beraninya kau!” Aula itu pun hening sejenak. Prajurit-prajurit bahkan terang-terangan melayangkan pandang ke arah pintu masuk dengan penasaran – walau begitu jelas terlihat raut wajah mereka yang semakin pucat. Erin menduga Ivan telah memerintahkan mereka untuk berpura-pura. Tapi Erin tidak peduli lagi mengenai masalah hukuman ketika pintu terbuka dan Ivan melangkah masuk.

“Ah—hai”, sapa Ivan dengan kikuk. Issac, kau aktor yang sangat buruk”.

Erin melangkah tergesa-gesa ke arah Ivan. Tangannya mengepal erat. Wajahnya tegang, dengan sorot mata yang hanya tertuju pada Ivan.

“Aku pulang, Tuan Putri”. Ivan tahu dia sedang dalam masalah sekarang. Dia pun buru-buru merangkai kata untuk membela diri. “Maaf, itu tadi hanya—”, tapi Erin justru menjatuhkan diri dalam pelukannya. Ivan memandang Erin dengan kebingungan. Tatapannya lalu berubah lembut. Ia lalu merangkulkan tangannya, mendekapkan lengan kuat itu pada Erin yang memeluknya erat, “—lelucon”, kata Ivan kemudian.

“Sama sekali tidak lucu; kau bodoh! Jangan lakukan itu lagi”, Erin bergumam, masih dalam dekapan Ivan.

Ivan tersenyum, Ya, memang tidak lucu. Aku hanya mampir untuk mengucapkan selamat tinggal dan pergi meninggalkan ibukota”.

Tetaplah di sampingku; aku tidak bisa memimpin negara ini seorang diri”, gumam Erin lagi, yang enggan melepaskan Ivan untuk pergi.

Aku datang untuk mengambil stempel itu.

“Ambil juga diriku bersamamu”.

“Itu bukan bagian dari kesepakatan kita”.

“Kau kalah dan tidak berhak memutuskan apapun”.

“Jika aku tidak mau?”

“Kuanggap kau telah menentang perintahku. Kau tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan untukmu, kan?”

“Kurasa kini aku punya alasan untuk tetap tinggal”.

Erin melepaskan pelukannya, dia tersenyum menatap Ivan – yang juga memandang dirinya dengan senyuman. Erin telah belajar banyak bahwa apa yang ada dipermukaan belum tentu mencerminkan apa yang berada di dasar. Tapi pria di hadapannya selalu menunjukkan dasar dirinya padanya, tidak berusaha menyembunyikan apa pun. Lampu panggung pun padam, dan demikianlah akhir dari drama ini, yang berjudul “Royal Insignia”.

Tepuk tangan pun mulai terdengar, memecah keheningan – yang walau amat sesaat telah membuatku gugup membayangkan seandainya penonton tidak menyukai drama ini. Lampu kembali menyala – kali ini seluruh crew dan pemain naik ke atas panggung, memberi hormat pada penonton. Sebagai sutradara dan tim penyusun cerita, tidak ada alasan bagi Sherry untuk menolak tepuk tangan ini – walau pada beberapa bagian aku tahu beberapa pemain melakukan kesalahan dialog dan terpaksa berimprovisasi.

Gemuruh tepuk tangan dan keramaian berangsung-angsur memudar saat satu persatu penonton beranjak pergi, menjadikan aula ini sepi seperti sedia kala. Gelas-gelas aqua bertebaran di lantai, juga bungkus-bungkus makanan. Dua orang petugas kebersihan sekolah yang berseragam hijau menyapu semua sampah-sampah itu. Di atas panggung, anak-anak teater sibuk mengemas kembali properti mereka. Lalu aku sendiri sibuk membantu membereskan kursi-kursi lipat.

Dekat dengan pintu keluar aula, Sherry terlihat sedang berbincang dengan tiga orang guru, salah satunya kukenali sebagai guru bahasa Indonesia-ku. Aku tersenyum, senang melihatnya yang sedang menerangkan detail cerita dengan antusias. Tapi sejenak kemudian apa yang kulihat pun berubah: latar belakang hutan mendadak muncul di antara mereka. Pandanganku mengabur, dan sekarang Sherry terlihat memiliki rambut yang lebih panjang, terurai sepunggung, juga dengan warna yang begitu berbeda: merah bagai darah—bahkan dia terlihat mengenakan gaun panjang berwarna merah lembut. Aku tidak bisa mengenali dengan jelas ketiga guruku, mereka seperti orang lain, dengan pakaian yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Kupikir, ini pasti tidak nyata; hutan ataupun busana yang mereka kenakan tidak selayaknya bisa ada di tempat seperti ini. Jadi, kali ini kupejamkan rapat-rapat kedua mataku; memijat pelan kelopaknya. Lalu, ketika membuka mata, apa yang kulihat telah kembali normal seperti semula: Sherry dan ketiga guruku masih larut dalam percakapan.

Apa itu tadi?

Aku lalu lanjut melipat kursi berikutnya; bayang-bayang tadi terus mengusikku, membuatku semakin tidak mengerti apa yang salah dengan ingatanku; Sherry dan wanita itu terlalu mirip. Aku berkedip sebentar, dan dalam kedipan singkat itu sebuah mata merah milik bangsa Ancient menatapku. Kemudian, kudengar suara-suara bergaung pelan dalam kepalaku. Aku tidak bisa menangkap jelas maksud ucapan mereka; seakan mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kukenal. Sebentar terdengar seperti berdiskusi di tempat sunyi dengan beberapa orang, sebentar lagi berganti cepat menjadi percakapan di tempat yang ramai; terkadang ada yang berteriak marah padaku, terkadang juga ada yang tertawa bersamaku. Lalu….

Heinrik, kau lagi ngapain?

Aku tersentak kaget dan langsung berbalik ke arah asal suara itu. Kulihat Sherry yang sedang menatapku bingung – kini warna matanya telah menjadi hijau toska oleh softlens yang dikenakannya, jernih seperti melihat berlian. Suara-suara dalam kepalaku kini telah lenyap, tak terdengar lagi. Pikiranku kembali terfokus, menyadari diriku yang sedang melipat sebuah kursi. “Beres-beres”, kataku.

“Tidak perlu; itu tugas mereka”, Sherry merujuk pada orang-orang dari persewaan peralatan. “Eh, ikut aku bentar, yuk. Ada yang mau aku tunjukkin”.

Aku mengiyakannya saja tanpa pikir panjang, dan kemudian berjalan mengikutinya menuju ke belakang panggung. Untuk saat ini, segera kusingkirkan jauh-jauh pikiran liar barusan – aku hanya tidak ingin Sherry mengetahuinya, terlebih jika hal itu mengubah cara pandangnya terhadapku. Lagipula, jika seandainya nanti dia menanyakannya, kurasa aku tidak akan sanggup memberikannya jawaban yang masuk akal.

“Sherry, kami duluan ya”, salah seorang anak teater menyapanya, ketika kami melangkah di atas panggung. Dia memanggul beberapa kostum armor prajurit.

“Jangan lupa, nanti habis magrib”, sahut Sherry.

“Oke”, dia membalas, lalu berjalan pergi bersama beberapa anak lainnya.

Pada salah satu pojok di belakang panggung, tidak jauh dari ruang kecil yang tadinya digunakan sebagai ruang ganti, terlihat tumpukan tas yang diletakkan begitu saja, saling tindih satu sama lain. Sherry kemudian berhenti dan menarik tasnya dari tumpukan itu. Dia pun berjongkok dan merogoh isi dalamnya. “Ah—ini dia”. Dan kemudian dia langsung menyerahkannya padaku – aku hanya diam menatap bingung pada kalung keperakan yang sedang digenggamnya. “Selamat ulang tahun”, katanya lagi, dengan seulas senyum di wajah.

Aku mengambil kalung itu. “Dari mana kau tahu hari ini ulang tahunku?”

“Ada deh. Mau tahu aja”, ujarnya santai, dengan senyuman kucing. Yah, dia memang selalu begitu. Jika saja aku tidak tahu mengenai kemampuannya mengintip apa yang dipikirkan orang lain, sudah dari dulu aku akan penasaran dengan tebakannya yang tidak pernah meleset. Tapi kurasa kali ini Roy yang memberitahunya – tidak beberapa lama setelah mengenal Sherry, jabrik autis satu itu menanyakannya langsung padaku.

Kuangkat kalung Sherry hingga berada tepat di depan mataku, mengamati dengan cermat sebuah pedang mungil, yang tersemat pada untaian rantai-rantai kecilnya. Kalung yang ringan; sepertinya terbuat dari aluminium. Dan dari warna perak mengkilatnya, aku cukup yakin ini telah dipoles dengan krom. “Ini kau yang buat?” tanyaku.

“Roy yang buat”.

“Roy bisa buat beginian?” aku kembali mengamati kalung ini, yang sepertinya dihaluskan secara terburu-buru; pada beberapa bagiannya masih terlihat bergerigi.

“Sebenarnya sih tidak seratus persen dia yang buat. Itu pesan di temannya”.

“Pesan?”

“Dia juga ikutan buat”, ujar Sherry cepat, “dan aku yang desain modelnya”, katanya lagi. “Jadi bagaimana?”

Masih agak kasar sebenarnya, “Bagus”, kataku. Jawaban itu sontak membuat Sherry langsung menatapku tajam. Kurasa aku paham maksudnya, tapi aku mengatakan apa adanya, “Hey, aku serius”.

Dia mendesah, sepertinya agak kecewa, “Yah, distro-nya emang masih coba-coba buat beginian sebenarnya”.

“Tidak usah terlalu dipikirkan. Ah—dan terima kasih untuk kadonya”, aku tersenyum menatap kalung di genggamanku, Seriously, aku lebih suka seperti ini; terlalu rapi malah jelek”, kemudian aku pun segera mengalungkannya di leherku yang sedikit tertutup lebat rambut hitamku.

Sherry tersenyum, “Oh yeah?” dia menatapku ingin tahu, sementara itu tangannya bergerak mengancing kembali resleting tasnya. Sherry pun berdiri dan menyampirkan tas itu di pundaknya. Aku juga meraih ranselku dan kemudian memanggulnya.

Haha, yeah—kelihatan lebih garang, kan?” aku tertawa kecil.

Sherry ikut tertawa, “no—not really”.

“Huh? Why?”

Sherry hanya tersenyum saja. Sambil menyusuri koridor pengap belakang panggung ini, berulang kali aku mencoba memancingnya tapi dia tetap menyembunyikan jawaban itu. Aku sebenarnya tidak lah betul-betul ingin tahu jawaban itu; hanya sekedar menciptakan suasana percakapan yang menyenangkan. Dan kemudian kami pun berbelok, keluar meninggalkan aula ini melalui pintu kecilnya.

Tapi kau ikut, kan, nanti?” ujarnya, begitu langkah kami telah melewati pintu keluar – setelah kesibukan mengurus acara pentas teater tadi, senang rasanya dapat menghirup udara segar di ruang terbuka.

“Hah—ikut apa?”

“Acara pembubaran panitia—makan-makan”.

Sambil masih terus melangkah di pinggiran lapangan olahraga sekolah yang berumput jarang-jarang, aku segera berpikir cepat menimbang-nimbang ajakan Sherry. Ibu dan ayah beberapa hari lalu baru pulang. Dan lagi, ini ulang tahun ke tujuh belasku; Ibu pasti tidak ingin melewatkannya tanpaku; tepat tujuh belas tahun dari tanggal kelahirannya, seorang Ancient akan mendapatkan Ingatan. Entahlah, aku tidak pernah tahu pasti apa yang dimaksudkan ayah dan ibu tentang itu, tapi aku cukup penasaran apakah hal tersebutlah yang menyebabkan rentetan deja vu tentang Sherry dan mimpi-mimpi anehku?

Sudah kuputuskan. Dan dengan berat hati aku pun berkata, “Maaf, aku tidak bisa ikut. Nanti malam—”.

“Ah—iya! Benar juga”, ujar Sherry tiba-tiba, spontan aku pun beralih memandangnya dengan bingung. “Acaranya di rumahmu aja”.

Aku terlonjak kaget; itu tidak mungkin!

“Lagipula kita kan belum pernah main ke rumahmu”.

“Ah—hey—tunggu dulu”, aku berseru tidak setuju.

“Coba tanya orang tuamu”, Sherry melanjutkan dengan acuh, tidak peduli dengan keberatanku. Melihat antusiasme di wajahnya, tidak diragukan lagi dia memang bersungguh-sungguh dengan ide itu.

“Hey, ini adalah—“, seketika itu juga Sherry menatapku dengan kilat mata menusuk; aku terdiam. Sial, ini pemaksaan!

“So?” dia bertanya santai, dengan lagak polos.

Aku mendesah lelah, “Okay, akan kutanyakan”.

Damn, why I couldn’t resist her will!? Aku pun merogoh saku celanaku, mencari ponsel. Well, but it wouldn’t be…. Mataku sekonyong-konyong memicing menangkap keanehan. “Tanahnya!!

“Apa?”

Sejenak tadi aku sangat yakin tanah ini berubah bergelombang, layaknya gelombang di air. “Kau tidak lihat?”

“Lihat apa?”

Sekali lagi gelombang itu muncul dan merambat di atas tanah. Aku langsung berpaling ke arah tengah lapangan, tempat asal gelombang tercipta.

“Ada apa sih emang?”

Aku mundur selangkah secara rafleks; terkejut karena gelombang yang barusan tercipta, tertarik kembali menuju pusatnya!

Keadaan kembali tenang untuk sesaat.

“Kau ini ken….” Sherry langsung terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya.

Dari pusat gelombang tadi, debu tersembur ke luar. Lalu ketika perlahan kabut debu mulai menipis, nampaklah sesosok serigala besar dalam kabut itu. Dia melirik ke kiri dan ke kanan, lalu mulai berjalan perlahan ke arah kamiSherry bergerak takut-takut, berusaha menyembunyikan dirinya di balik badanku. Kabut debu itu tak kunjung hilang, namun terus mengikuti ke mana arah langkah serigala itu – menyamarkannya. Tapi walau dia tersamar baik dalam kabut debu itu, dari jarak ini aku bisa melihat tubuhnya yang tersusun dari pasir-pasir topaz yang memantulkan warna kuning indah.

Serigala itu lalu berhenti melangkah, hanya beberapa meter jauhnya di depanku. Aku menelan ludah; dia bahkan jauh lebih tinggi dariku. Dia melirik sebentar ke arah Sherry dengan tertarik, kemudian berpaling ke arahku. “Lama tak jumpa, Ruft”, katanya, dengan suara berat dan bergetar, “Ini aku, Fenrir. Kami butuh kau sekarang; Raha bergerak melebihi yang telah di-gariskan”.

Ucapannya langsung membuatku tersentak; bagaimana dia bisa tahu tentang Ruft yang ada dalam mimpiku? Lalu kenapa dia memanggilku dengan nama itu? Apa dia salah mengira aku adalah Ruft?

Mata topaz-nya berkilat menatapku tajam, menuntut jawaban. Tapi aku tetap diam.

“Apa kau belum mendapatkannya, Nak?” dia bertanya lagi padaku, dan lagi-lagi aku tetap diam; aku tidak tahu apa yang dimaksudkannya dengan mendapatkannya. Dia berubah kecewa, “Sepertinya benar”. Sinar matanya lalu mendadak padam, begitu juga dengan kilau pasir topaz tubuhnya yang dengan segera menjadi butir pasir biasa dan jatuh melebur, kembali menjadi tanah. Kabut debu yang tadi menyelimutinya sirna terbawa angin. Bukti kehadiran serigala itu kini tidak tersisa sama sekali, seakan dia tidak pernah ada.

Keringat dingin membasahi tengkukku. Aku berpaling ke arah Sherry dengan jantung berdebar. Sherry juga sepertinya sama terkejutnya denganku; dari sorot matanya itu aku dapat melihat ketakutan telah mengambil nyalinya—jadi ternyata dia juga melihat hal yang sama denganku. Sepertinya aku paham maksud tatapan darinya, dan tanpa dikomandoi, kami langsung bertolak berlari menjauh.

Dengan cepat kami telah melewati area lapangan olahraga, dan terus berlari menyusuri lorong-lorong kelas, menuju ke sekretariat teater – tempat di mana aku memarkir motor. Setelah merasa cukup jauh, langkah kami memelan. Kami pun berhenti berlari dan berjalan terengah-engah.

“Apa itu tadi? Hantu?” tanya Sherry, penasaran.

Teman. Dia kenal Ruft—tapi bagaimana mungkin?

“Hah? Temanmu?” tanya Sherry lagi, nafasnya masih memburu.

“Bukan”, kataku cepat; Sherry langsung menatapku bingung. “Aku juga tidak tahu”, lanjutku kemudian, setelah melihat rasa ingin tahu di matanya.

“Ah—whatever. Dia tidak kejar kita, kan?”

“Sepertinya tidak”.

Kami berhenti bejalan, istirahat sebentar, mengatur kembali nafas. Ruang sekretariat teater hanya beberapa langkah lagi dari sini, di gedung seberang. Masih ada beberapa motor terparkir di dekatnya, juga beberapa anak teater yang terlihat sedang bercengkrama di dalam ruang sekretariat itu.

“Jadi, ya atau tidak?” tanya Sherry tiba-tiba.

“Apa?”

“Acara nanti malam”.

Huh? Kau masih memikirkan itu?Sebentar, aku tanya dulu”.

Aku mengambil ponsel di saku celana kemudian meng-input nomor telepon rumah. Nada tunggu telepon lalu terdengar. Beberapa saat kemudian telepon diangkat:

“Halo?”

“Mom, it’s me”, kataku cepat.

“Oh, Heinrik—kau di mana sekarang?”

“Masih di sekolah”.

“Kalau begitu cepatlah pulang; sudah jam berapa ini?”

“Ya, bentar lagi. Uhm, Bu, tidak apa-apa kalau aku bawa teman?” kataku; Sherry bereaksi cepat dengan pertanyaan ini, menatapku lekat-lekat.

“Apa? Oh—ya—tentu saja. Ini kan pestamu”.

Aku terdiam mendengar jawaban ibu; tidak kukira semudah itu ibu mengiyakannya. Padahal kalau tadi ibu mengatakan tidak, aku akan dengan senang hati langsung menyepakatinya dan tidak akan membantah.

“Berapa orang yang mau datang kira-kira?” tanya ibu lagi.

Dunno—sekitar belasan, mungkin”.

“Ya sudah kalau begitu. Cepat pulang, ya”.

Sambungan telepon pun terputus. Aku menghela nafas, lalu memasukkan kembali ponselku ke saku.

Sherry masih menatapku lekat, terlihat tak sabar menunggu jawaban, “So?” tanyanya kemudian.

“You got it”. Aku berjalan melewatinya, melangkah menuju ruang sekretariat – aku menyimpan helm di sana, Sherry pun demikian.

“Hey, apa maksudnya itu?” Sherry mengejarku. Dengan langkahnya, dia kini mendahuluiku, berjalan mundur sambil mengamati ekspresiku, “Kau marah?” dia tersenyum menggodaku.

“Kenapa aku harus marah?”

Karena aku tahu yang kau pikirkan—takut aku tahu lebih?

For what? Like I care”.

“Hey, aku ga bermaksud buruk, kok”, Sherry memberikan senyumnya padaku. Aku diam saja.

Sejenak kemudian kami telah sampai di depan ruang sekretariat.

“Hai, semua”, ujar Sherry, mendongakkan kepalanya ke dalam ruangan, “Ada perubahan rencana”.

“Apaan?” aku mendengar sahutan suara seorang gadis dari dalam sekretariat. Tidak beberapa lama kemudian aku pun telah mencapai depan sekretariat.

“Ntar malam jadinya di rumah Heinrik. Dia ulang tahun lho”.

“Hah!? Yang bener?” seru seorang gadis lainnya, yang kukenali dengan nama Putri – dia sedang duduk di kursi meja sekretariat, membaca sebuah majalah.

“Ah—ya!” seru Rendi, salah seorang anak cowok yang sedang bermain kartu bersama dengan dua orang anak putri dan seorang lagi murid laki-laki. “Benar juga; kita belum pernah main ke tempat lo”.

“Oi, gua pulang duluan, ya. Ntar gua bawain makanan”, kata Andika, dia berjalan ke arahku, ”Met ultah, Kak Heinrik”, katanya; aku membalas dengan tersenyum seadanya. Dia lalu berjongkok, mulai menalikan sepatunya.

“Haha, sip-sip!” seru Didik, seorang anak cowok lainnya yang sedang bermain kartu.

“Met ultah juga Kak Heinrik”, sahut Widya, yang juga sedang bermain kartu. “Ah—ya—ntar aku ikutan nyumbang makanan deh”.

“Eh, gimana kalo martabak?” ujar Didik lagi.

“Hahaha, bawa aja semua!” seru Rendi, “Met ultah juga ya”.

Mereka pun ramai-ramai menyerukan selamat ulang tahun padaku. Aku hanya balas tersenyum.

Sherry menunjuk ke arah pojok, di samping lemari arsip, “Helm donk”, ujarnya, dan Didik yang berada paling dekat dengan tumpukan helm-helm segera mengambilkannya, “Punya Heinrik juga”, kata Sherry lagi, “Oh—ya—nanti tolong kabarin anak-anak, ya?” seru Sherry.

Gampang. Wid—HP—sini gue sms”, kata Rendi.

“Hah, kok pake punya aku?!”

“Udah, gua aja yang sms”, kata Andika, yang telah selesai menalikan sepatunya. “Ga modal lo”.

“Bawel! Udah, balik sono!” seru Rendi.

“Woy, ingat utang lo”, ujar Andika sambil berjalan pergi dengan cuek. Spontan kami semua pun tertawa; Rendi langsung terdiam.

“Cacat lo, Ren!” timpal Didik.

“Cadas!” tambah Putri, memanasi suasana. Mereka kembali tertawa – aku juga ikut tertawa, walau tidak begitu mengerti maksud ucapan Putri barusan.

“Oke, ntar ngumpul di rumahku dulu, setengah tujuh”, kata Sherry, “Duluan, ya”. Sherry lalu mulai melangkah pergi, menuju tempat motorku terparkir; aku berjalan mengikutinya. Dia lalu berbalik, berjalan mundur, tersenyum padaku sambil mengetukkan telunjuk di pelipis kanannya, “See? Kau juga punya teman di sini”.

Aku mengamati rasa senang yang terpancar dari sorot matanya. Perkataannya barusan sedikit menyinggungku, tapi mungkin dia benar; aku telah terlampau berkeras hati untuk menerima apa yang ada di sekelilingku. Jadi, itu semua tentang hal ini?

Aku pun tersenyum, “Hey, kita ke rumahku dulu, ya?”

Sesampainya di rumahku, Sherry menunggu di ruang tamu. Aku bergegas mengambil handuk. Setelah selesai membasuh badan dan berganti pakaian, aku segera menuju ruang tamu menghampiri Sherry – berikutnya aku harus mengantarnya pulang. Saat melewati dapur, kulihat ayah dan Reno masih saja sibuk sendiri mondar-mandir, memberi hiasan pada masakan ibu – mereka berdua terlihat kompak mengaduk-aduk isi kulkas. Mbok Darmin, pembantuku, terlihat kepayahan meladeni tingkah mereka berdua.

Di ruang tamu, kulihat Ibu sedang bercakap-cakap hangat dengan Sherry. Sepertinya mereka cocok satu sama lain—dan kuharap ibu tidak bertanya yang aneh-aneh padanya. Aku lalu berpamitan.

Ketika mesin motor telah menyala dan kami hendak melaju, kulihat Reno membuka pintu garasi. Sepertinya ibu telah mengusir mereka berdua dari dapur.

Di rumah Sherry kami menunggu teman lainnya – mungkin aku memang sudah seharusnya memanggil mereka dengan kata teman; tidak ada artinya terus menutup diri.

Baru setelah jam tujuh, semua yang akan ikut telah lengkap. Hampir semuanya datang – kurasa kami ada sekitar dua-puluhan. Kamipun lalu berkonvoi motor menuju rumahku – sebagian sisanya ikut mobil Andika.

Aku mengetuk pintu rumah. Di belakangku, riuh ramai semakin semarak saja terdengarnya. Dan kemudian, ibu pun keluar menyambut kami.

Ibu nampak sedikit terkejut, kemudian berkata dengan senyum riang, “Wah, kau sudah punya banyak teman”. Dan aku bahkan lebih terkejut dengan kalimat yang diutarakannya; tidakkah ibu punya kalimat yang lebih baik? Itu memalukan kedengarannya. “Ayo—masuk-masuk”, kata ibu lagi.

Aku pun melangkah masuk, diikuti teman yang lainnya – mereka semua terlihat agak malu-malu; berjalan sambil mengucapkan permisi ketika lewat di depan ibu.

Baru beberapa langkah aku berjalan, kepalaku mendadak berdenyut hebat, seakan terhantam oleh tinju yang kuat. Sontak aku langsung oleng, dan bersamaan dengan itu semua orang menjerit memanggil namaku dengan khawatir. Namun kemudian rasa sakit ini hilang seketika seakan tidak pernah ada. “It’s okay—I’m alright”.

Aku berbalik, menatap Sherry. Saat ini, pikiranku tidak pernah lebih jernih dari sebelumnya, dan sekarang aku tahu kenapa seakan aku pernah bertemu dengannya: Sherry sangat mirip dengan ibu Ruft. Jadi aku dan dia memang belum pernah bertemu sebelumnya. Kini aku pun tahu siapa Ruft dalam mimpiku: dia adalah leluhur bangsa kami. Lebih dari itu, masa lalu Ancient pun terpatri jelas pada Ingatanku, seakan itu adalah milikku sendiri.

Aku beralih pada ibu. Jadi, inikah Ingatan itu?

Dan ibu sepertinya mengerti apa yang sedang kupikirkan; dia tersenyum hangat padaku. Walau begitu, entah kenapa aku merasa ada yang berbeda dari senyum dan tatapan itu. Rasanya ibu terlihat lain; dia sedang bersedih? Entahlah, mungkin memang hanya perasaanku saja.

Aku kembali lanjut berjalan, tapi kemudian di dua-tiga langkah berikutnya denyutan itu muncul lagi. Rasa sakitnya tak tertahankan, melebihi sebelumnya. Rasa sakit itu bahkan merampas kemampuanku untuk mengontrol tubuh ini. Bisikan, tawa, hardik, jeritan, dan semua percakapan asing mendadak bergaung memenuhi kepalaku. Lalu kilasan-kilasan potongan gambar pun mulai bermunculan juga, ikut menghambur masuk dan mengacaukanku. Pandanganku dengan cepat mengabur, aku pun roboh. Sebentar lagi aku akan jatuh membentur lantai, tapi aku bahkan terus terjatuh; semakin dalam menuju kegelapan yang bertambah pekat.

Untuk beberapa saat lamanya aku terperosok jatuh, bersama dengan gaung suara dan kilasan gambar di pikiranku. Mereka seakan hidup. Lalu, aku pun berhenti, mengapung di antara kegelapan. Begitu gelap di sini, hingga aku tak dapat melihat apapun; kegelapan total.

Perlahan, ketika rasa sakit itu mulai mereda, dan gaung suara serta kilasan-kilasan itu berhenti bermunculan, kusadari kemudian diriku sedang mengapung di antara kegelapan. Bahkan dengan mata terbuka lebar, tak satupun titik cahaya yang dapat kulihat.

Aku mulai mencoba melangkah dan meraba-raba dalam gelap. Tapi kurasa itu semua percuma; langkahku dan ujung tanganku tidak berhasil menyentuh apapun. Dengan cepat frustasi menghampiriku, tapi aku tetap saja melangkah dan meraba – karena bagaimanapun juga aku tidak mau berada di tempat ini!

Di antara ketidak-pastian ini, dan di saat aku mulai meragukan langkahku, mataku langsung terbutakan oleh ledakan cahaya terang. Namun perlahan cahaya itu meredup, lalu bersamaan dengan itu bermunculan pula bintang-bintang di sekelilingku, juga planet beserta satelitnya yang mengitari Matahari – semuanya dalam ukuran yang lebih kecil, bahkan Matahari-nya tidak lebih besar dari diriku. Dan walau aku berada tidak jauh dari Matahari yang sedang menyala, sama sekali tidak kurasakan panas lidah apinya.

“Selamat datang, Tuan Ruft”, sebuah suara menggema dalam kepalaku. Aku berbalik, mencari dengan beringas asal suara itu, tapi tetap tidak kutemukan apapun.

“Hamba ada dalam diri Tuanku”, kata suara itu lagi, seakan dia tahu apa yang sedang kupikirkan.

“Siapa?” kataku, masih berusaha mencari keberadaannya.

“Hamba adalah Ingatan milik Tuanku”.

“Ingatanku?” dan kemudian aku pun tersadar, bahwa sejenak tadi orang itu memanggilku dengan nama Ruft – serigala yang waktu itu pun juga.

“Ya, Anda memang Tuanku Ruft”.

“Hah?! Bagaimana mungkin? Siapa kau?”

“Sudah hamba katakan sebelumnya; hamba adalah Ingatan milik Tuanku. Anda berada di sini atas kehendak Anda sendiri, Tuanku Ruft”.

Sungguh, sekarang aku semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Tidakkah dia tahu namaku adalah Heinrik Bernard?

“Tuan Ruft dan diri Anda adalah satu”.

“Tidak mungkin; Ruft hanya muncul dalam mimpiku!”

“Itu lebih dari sekedar mimpi, semua yang ada di dalamnya adalah kejadian masa lalu dari Tuanku Ruft”.

“Fuck! Kau mencoba membodohiku? Aku tidak pernah mengalaminya!”

“Tidak sama sekali, hamba ada untuk menyampaikan Ingatan makhluk Terra yang bernama Anãçcΐa (baca: Anyacshia)—Anda mengenalnya dengan nama Ancient. Akan hamba perlihatkan kembali agar Tuanku ingat bahwa ini memang kehendak yang telah Tuan tetapkan. Setelahnya, hamba akan bergabung kembali menjadi bagian dari Ingatan Anda, Tuanku Ruft”.

Suara itu berhenti sejenak, dan kulihat kemudian benda-benda langit di sekitarku berotasi dan berevolusi lebih cepat dari sebelumnya. Sebuah planet berwarna merah mendadak muncul memasuki tata surya dan melesat cepat ke arah sebuah planet biru – yang kukenali sebagai Bumi. Saat ini, aku telah memutuskan untuk diam saja dan membiarkan suara asing itu bercerita; jika dia menganggap aku adalah tuannya, berarti keputusan apapun ada di tanganku – lagi pula pemandangan yang diperlihatkannya sungguh memukauku, terlihat begitu nyata, dan aku berada di antaranya!

“Setiap planet memiliki nyawa, bahwa planet yang telah dewasa akan membentuk sebuah kehidupan yang berasal dari nyawanya sendiri. Dan Anãçcΐa adalah penghuni sebuah planet pemangsa, yang dikenal oleh makhluk bumi dengan nama Terra. Bumi memiliki nyawa yang biasa disebut Gaia oleh makhluknya. Planet pemangsa memertahankan kehidupannya dengan memakan jiwa planet lain. Karenanya, dengan sendirinya dia akan melahirkan makhluk hidup yang memiliki kemampuan bertarung yang tinggi. Makhluk hidup pada planet pemangsa berperan untuk memusnahkan kehidupan di planet yang menjadi korbannya serta melemahkan planet tersebut.

“Terra mengarungi angkasa dengan luka yang dibawanya dari pertarungan sebelumnya melawan planet pemangsa lainnya. Lalu sampailah dia pada Bumi”.

Laju planet merah itu melambat. Jaraknya kini bahkan lebih dekat daripada jarak antara bumi dan bulannya. Dua planet itu, akibat gaya gravitasi, saling tarik satu sama lain, tetapi tidak membuat mereka bersinggungan. Atmosfer kedua planet itu kini telah menyatu.

Ribuan aliran cahaya biru meresap keluar dari seluruh penjuru tanah-tanah Bumi, berliku bagaikan aliran sungai, berkumpul pada daerah yang bersinggungan dengan Terra. Kendati sekuat tenaga telah berusaha mendorong planet merah itu keluar dari atmosfernya, bahkan dengan ukuran yang jauh lebih kecil dari Bumi, Terra tak goyah sedikitpun.

“Untuk bertahan dari Terra, Gaia melahirkan Odin, dengan kekuatan yang untuk ukuran planet produktif seperti Bumi, sangatlah menakjubkan. Odin, yang dilahirkan dengan mengorbankan setengah nyawa Gaia, kemudian bergerak cepat meniupkan kesadaran pada makhluk hidup ciptaan Gaia. Ewashj (baca: Ewaji) pun kemudian terlahir, dengan proses yang sama dengan kelahiran Odin, yang menjadikan nyawa Gaia semakin melemah.

“Di dunia manusia, Ewashj dikenal sebagai dewa. Mereka berbeda dengan mahkluk ciptaan Gaia lainnya. Ewashj adalah nyawa dari Gaia itu sendiri, mereka terus hidup selama nyawa Gaia masih ada. Wujud mereka pun sangat beragam, dan tidak ada satu Ewashj pun yang memiliki wujud yang sama. Dengan kekuatannya, mereka adalah lawan yang tangguh dalam peperangan antara Gaia dan Terra.

Saat ini, sungai cahaya pada planet biru berangsung-angsur telah jauh berkurang. Atmosfer planet merah semakin tipis sehingga terlihat tanahnya yang membentuk retakan-retakan dalam, yang semakin meluas.

“Baik Gaia maupun Terra, banyak menghabiskan nyawanya dalam pertempuran itu. Walaupun makhluk hidup penghuni Bumi terus berguguran karena tak bisa mengimbangi haus darah makhluk hidup dari Terra, sesungguhnya Terra akan binasa jika pertarungan itu berlangsung lebih lama lagi. Terra sedang terluka parah, dan tidak ada cara lain untuk mencegah kehancurannya selain meleburkan diri dengan Gaia.

Planet merah kembali bergerak, menerobos semakin jauh ke atmosfer planet biru. Saat itu juga, retakan-retakan pada planet merah membuat planet tersebut pecah. Dari inti planet, sebuah cahaya merah bersinar terang. Cahaya merah itu lalu menyelimuti planet biru, meresapkan dirinya pada permukaan tanah planet biru. Planet merah, yang kini tidak lagi memiliki inti, pecah tercerai berai dan berserakan di angkasa luar, mengapung tak tentu arah

“Bumi kini memiliki dua nyawa dalam dirinya: Gaia dan Terra. Keberadaan keduanya merupakan pasang surut yang memperebutkan kendali atas tubuh planet Bumi. Hal tersebut mengubah Bumi menjadi planet yang bersifat produktif dan pemangsa sekaligus. Tapi, karena sesungguhnya sebagian besar nyawa Terra berada dalam tubuh Anãçcΐa yang merupakan ras petarung terkuat-Nya – dan sebagian kecil lainnya masuk ke dalam tubuh makhluk hidup Gaia – maka itu berarti posisi Terra lebih lemah dalam perebutan kontrol kekuasaan itu.

“Pada posisi demikian, penghuni Terra kini dibebankan tugas membunuh Gaia – tidak lagi berfokus pada pemusnahan makhluk hidupnya – untuk kemudian memakai Bumi sebagai tubuh dari Terra. Pada saat itu, makhluk hidup Terra yang tersisa tinggal Anda, Raha – kakak Anda, serta Vanya – Ibunda Tuanku Ruft.

“Untuk melindungi dirinya dalam pertarungan terakhir itu, Gaia memutuskan untuk memberikan hampir semua nyawanya kepada Odin, sedangkan sisa nyawanya diubah menjadi sebuah pohon raksasa yang mengikat seluruh Bumi. Pohon tersebut dikenal dengan nama Yggdrasil. Yggdrasil bertugas untuk mengontrol kehidupan di Bumi. Bahwa di Bumi terdapat dunia luar tempat manusia tinggal, serta dunia di mana kaum Ewashj tinggal, maka dari itu Yggdrasil juga berfungsi sebagai pengikatnya untuk meminimalkan pengaruh dari Terra. Tumbuhan di bumi akarnya saling berhubungan satu sama lain dengan akar dari Yggdrasil. Hanya Ewashj yang mampu melihat wujud asli Yggdrasil, kerena sesungguhnya Yggdrasil dan kaum Ewashj adalah sama-sama bagian dari nyawa Gaia.

“Dunia dari para Ewashj pun masih dibedakan menjadi empat: dunia para Ewashj tanah, air, api, angin; dan pintu masuk dunia Ewashj adalah Yggdrasil. Keberadaan dunia ini disembunyikan dari jangkaun manusia; di dunia Ewashj selalu mengalir energi dari Yggdrasil, yang terlalu kuat untuk ditolerir tubuh manusia.

“Perjuangan kaum anãçcΐa akhirnya berhasil dipatahkan. Walau demikian Gaia tidak bisa serta-merta menghapus keberadaan mereka karena nyawa Terra yang tertidur pada tubuh mereka bisa kembali keluar dan merusak sinkronisasi-Nya dengan Terra. Gaia pun memutuskan untuk memasukkan mereka dalam barisan pelindung-Nya, sampai pada waktu di mana Ia bisa mengendalikan Terra sepenuhnya.

“Hal tersebut berhasil menciptakan keseimbangan dan keharmonisan bagi Gaia. Tapi bangsa manusia merusaknya dan memulai kembali peperangan. Mereka menentang keputusan Gaia dengan beranggapan bahwa hal itu hanyalah akan mengulur waktu kematian Gaia; lebih baik membinasakan kaum anãçcΐa dan hidup dalam bencana ketidakstabilan untuk sementara waktu. Melihat pembantaian yang dilakukan Manusia pada kaum anãçcΐa, Raha pun melanggar janji-nya pada Vanya, Ibunda Tuanku Ruft, dan memusnahkan bangsa manusia.

“Jiwa Terra kembali berdenyut pada saat itu, mengejutkan semua pihak. Tindakan Raha telah membuat Terra bergejolak kembali. Para Ewashj yang semula bersifat netral pun akhirnya memihak pada Manusia. Karena hal itu pulalah, untuk kedua kalinya peperangan antara Terra dan Gaia pecah. Dan untuk kedua kalinya juga Gaia memenangkan pertempuran tersebut.

“Untuk mencegah gejolak dari Terra terjadi kembali, Gaia menidurkan Raha. Tak satupun yang tahu tempat di mana Gaia menyegel dirinya. Meskipun demikian, beberapa percaya bahwa Raha berada pada daerah pertemuan antara empat dunia Ewashj, tempat dengan aliran Yggdrasill terkuat, yang dipercaya sebagai tempat awal mula bertiupnya ‘angin energi’ yang berhembus ke seluruh dunia Ewashj.

“Akibat dari aktivitas Terra, sinkronisasi kacau, sehingga memaksa Odin untuk meleburkan dirinya pada Yggdrasil untuk menstabilkannya. Terra kembali tenang. Tetapi dengan tidak adanya Odin, itu berarti akan lebih sulit untuk mengalahkan Raha jika dia terbangun kembali, karena hanya Odin lah yang mampu mengimbangi dan mengalahkan Raha”.

“Sepasang anak Manusia kemudian terlahir kembali dari bibit Yggdrasil. Dan ketika keadaan telah tenang kembali, Gaia secara tidak terduga mempercayai bangsa manusia untuk kembali mengendalikan dunia luar, menggeser kedudukan bangsa naga – yang sebelumnya adalah penghuni utama dunia luar. Untuk menghindari perselisihan, pada akhirnya bangsa naga nenutuskan untuk tinggal di dunia Ewashj api – setelah akhirnya Gaia menyetujui permintaan mereka untuk diberkahi umur yang panjang”.

Suara itu berhenti bergaung, tapi aku tahu dia belum selesai, seakan menungguku untuk mengambil keputusan. Aku berpikir sebentar; ada banyak Ingatan baru di pikiranku tapi semuanya belum terhubung satu sama lain. Ruft—ada sesutu yang belum diceritakannya, karena kutahu, dari mimpi itu, bahwa dia dan Raha saling-silang pendapat.

“Kau belum menceritakan tentang Ruft”.

“Janji masa lalu mengikat seluruh Anãçcΐa untuk mencoba hidup harmonis bersama makhluk Gaia. Berbeda dengan Raha, Anda tetap memercayainya, bahwa Ibunda Tuanku – Vanya, tidak salah dalam menggariskan takdir. Raha menentangnya, bahwa hal itu tidak akan terjadi selama bangsa Manusia masih terus berjalan di planet ini. Tapi berkat tekhnologi yang mereka miliki, Manusia (generasi pertama) berhasil melihat dan menghitung ‘Waktu Kedatangan’ planet pemangsa lainnya.

Kini aku mulai paham ke mana arah pembicaraan akan berlanjut: sepertinya Gaia menginginkan kami sebagai tentara pelindung-Nya.

“Karena sebagian besar nyawa Terra bersemayam dalam tubuh Raha, dikhawatirkan ketika peperangan pecah dan Gaia melemah, kekuatan yang menidurkannya akan kehilangan fokus sehingga dia akan terbangun kembali. Diputuskan kemudian untuk mencabut jiwanya ketika Gaia paling tidak telah sanggup menahan gejolak Terra tanpa merusak sinkronisasi, sehingga Bumi dapat berhadapan dengan planet pemangsa tersebut dalam keadaan terbaik-Nya.

“Anda pada waktu itu, Tuanku Ruft, kemudian menciptakan diri hamba sebagai penyampai pesan. Tubuh, kekuatan, dan nyawa beliau disimpan oleh Gaia, yang akan terus diturunkan dari generasi ke generasi hingga diri Anda yang sekarang ini. Gaia menjaga agar keturunan Tuan tetap berada dalam garis keturunan murni, sehingga diri Anda adalah seorang Anãçcΐa murni. Gaia melakukan hal ini, agar kekuatan Anda tidak berkurang oleh waktu.

“Raha akan dibangungkan saat ini, tepat ketika Tuanku mendapatkan kembali Ingatan masa lalu. Tapi, dari aliran Yggdrasil tempat di mana materi diri hamba sebenarnya berada, hamba tahu bahwa Raha bangun lebih cepat. Itu adalah saat di mana hamba mulai memperlihatkan Ingatan dalam bentuk mimpi. Mengembalikan kembali Ingatan Anda sama artinya dengan menata ulang jalur energi murni pada kekuatan Anda kembali ke kondisi sedia kala. Mimpi-mimi yang Anda alami sesungguhnya adalah sebuah proteksi serta proses….”

“Tunggu dulu”, aku langsung memotong ucapannya dengan geram, “dengan kata lain kau ingin berkata hidupku tidak ada artinya selain sebagai wadah bagi kembalinya Ruft?!”

“Anda adalah Tuanku Ruft. Ingatan Anda akan disusun ulang, sehingga Anda akan ingat siapa diri Anda sebenarnya”.

“Nonsense! Aku adalah aku! Siapa kau yang berani mencampuri hidupku dan terus mengatakannya sebagai takdir?!”

“Tuanku, Anda telah memutuskannya dulu sekali. Hamba hanyalah penyampai pesan”.

“Dan dari mana aku tahu kau tidak berkata bohong? Aku hidup dan selama itu pula tidak pernah mendapati kebenaran dari ceritamu!”

“Pilihan kedua, hamba akan mengembalikan Ingatan itu sebagian, dan sisanya lagi melalui mimpi—”

“Aku tidak bilang kalau aku setuju!”

“Dengan begitu”, dia terus berkata-kata, menghiraukanku, “waktu berlangsungnya mimpi adalah jumlah yang sama dengan ingatan yang masih mungkin Anda miliki nantinya”.

“Shut the fuck up!” aku meraung marah, “Aku punya hak untuk memutuskan!”

“Sudah ditentukan dulu sekali”.

“Fuck!”

“Hamba akan mengembalikan Ingatan itu sekarang juga – seharusnya tak perlu bercerita panjang lebar seperti ini jika Anda pada akhirnya menentangnya”.

“I said—“

Mendadak kurasakan suatu limpahan energi mengalir deras memasuki tubuhku, meresap di setiap pembuluh darahku, memenuhi setiap ruang kosong. Pikiranku diaduk-aduk, ingatanku didesak oleh ingatan asing: tentang ibunda dari Ruft, Raha, peperangan antara Terra dan Gaia, Fenrir….

“Arghhh!!” Saraf-saraf di kepalaku berdenyut liar, memijat kepalaku dengan rasa sakit. “FuCk yOU!” aku berteriak kencang, menggelepar sambil mencengkram kepala ini erat-erat. Aku terus saja menyumpahi sakit di kepala ini, juga ingatan asing itu – yang tidak berhenti terus menyeruak masuk. “StOP iT!” Lututku tertekuk; aku terduduk.

“Fuuuuckk!!” aku meraung sekuat-kuatnya; pada akhirnya aku sama sekali tidak berdaya menahan serbuan ingatan baru itu. Dadaku panas, terbakar oleh api kemarahan. Jika saja aku bisa berhadapan dengan siapapun yang telah menciptakan skenario hidup yang angkuh seperti ini, akan kupatahkan setiap tulang di tubuhnya, hingga dia menjerit dan merasakan sakit yang sama dengan yang kurasakan. Mereka hanya masa lalu, beraninya mencampuri urusan takdir orang lain!

Kenapa jadi begini? Kenapa harus aku? Kenapa hanya aku yang ingatannya akan hilang? Tidak satupun dari keluargaku pernah kehilangan ingatannya! Kenapa ayah dan ibu tidak pernah menceritakan hal ini padaku?! Kenapa aku tidak boleh tahu? Kenapa…. “ARGHHHH!!!!”

“Sekarang akan hamba jelaskan mengenai tipe kekuatan yang Tuanku miliki. Di alam ini terdapat dua jenis kekuatan yang paling mendasar, ‘Elemental’ dan ‘Non-elemental’ – yang kesemuanya bercabang menjadi jenis kekuatan lainnya. Kekuatan Elemental sendiri berasal dari kekuatan Non-elemental. Dan dasar dari semua kekuatan adalah Kehampaan”.

Fuck, fuck, fuck! Ingatan asing ini tidak berhenti untuk terus masuk, dan kini ia bahkan memberikan gambaran-gambaran yang semakin jelas: sebuah kota di antara lebat pohon-pohon hutan, sebuah kastil dengan dinding yang memancarkan warna biru lembut…. Dan apa ini—kenapa aku melihat semuanya dari mata Ruft?!

“Raha memiliki kekuatan Non-elemental: tipe kekuatan yang memiliki kompleksitas dan kesolidan dalam segala aspek. Pemakainnya dalam pertarungan relatif tidak rumit dan sifatnya pasif. Sesuatu yang memiliki sifat Non-elemental mempunyai kekuatan fisik yang luar biasa. Penyusun dasar Non-elemental adalah kecepatan, kekuatan, daya tahan, pikiran”.

…Ein, sesosok gadis álfar cilik berlari-lari kecil menyongsongku; seorang wanita álfar dewasa, ibu álfar kecil itu, berjalan perlahan ke arahku….

“Sedangkan Anda, Tuanku Ruft, adalah pemilik kekuatan empat Elemental Dasar: Perusak – yang dilambangkan oleh Elemental Dasar Api, Aliran – yang dilambangkan oleh Elemental Dasar Angin, Peralihan – yang dilambangkan oleh Elemental Dasar Tanah, serta Keseimbangan – yang dilambangkan oleh Elemental Dasar Air. Ke-Empat Elemental Dasar adalah tipe kekuatan yang paling rumit dalam penggunaannya”.

…Fenrir, seekor serigala sebesar kuda, dengan bulu dari mineral tanah dan debu, berjalan di sampingku. Álfar kecil tadi naik ke atas punggung serigala itu; dia tertawa riang….

“Karena kerumitannya tersebut, biasanya hanya dipakai satu persatu. Tapi ini juga dapat dipakai secara bersamaan yang tentunya juga akan memakan banyak sekali energi yang dimiliki penggunanya. Seandainya penggunanya dapat memanfaatkan secara maksimal dan menggabungkan kesemuanya, kekuatan ini dapat menyaingi Non-elemental. Secara teori, ini hampir mustahil dilakukan mengingat tiap Elemental memiliki ego yang tinggi. Misalkan saja, ‘Keseimbangan’ dari Air yang enggan menyatu dengan ‘Perusak’ dari Api”.

…”kakak, kau tertinggal jauh”, kata álfar kecil itu, masih dengan tawa riangnya. Langkah kaki di belakangku terdengar mempercepat jalannya….

“Untuk menggunakan kekuatan Elemental, terlebih dahulu, perlu diketahui bahwa energi murni yang dikeluarkan harus dalam komposisi yang tepat sesuai dengan besar Elemental yang akan digunakan. Elemental dalam diri makhluk hidup merupakan hasil perwujudan energi murni dalam tubuh”.

…aku berada di sebuah beranda. Naessa, Ibu si gadis álfar kecil, menampakkan ekspresi sedih dan kegelisahan. Aku memeluknya untuk membuatnya tegar….

“Aliran, Elemental Dasar Angin, dapat digunakan hanya jika Anda bisa menyelaraskan energi murni sebagai pusat dengan lingkungan. Udara, zat cair, bahkan aliran darah musuh dapat dikendalikan – setelah terlebih dahulu mematikan resistensi dari tubuhnya. Tapi untuk mengendalikan tubuh lawan, berarti tubuh Anda juga harus menyelaraskan diri dengan keadaan tubuhnya, karena jika tidak demikian justru dapat mencederai diri sendiri. Namun, dengan Ingatan Anda yang ada saat ini, lebih baik jangan dulu melangkah ke tahap ini”.

…aku berjalan menuju sebuah telaga kecil berair tenang. Telaga itu lalu bercahaya. Langkahku telah menyentuh air. Sekarang terlalu terang untuk membuka mata….

“Perusak, Elemental Dasar Api, adalah kekuatan frontal dengan daya hancur paling besar. Bersifat menekan, sehingga jumlah dan kontrol yang lebih baik akan menentukan arah kendali. Anda yang saat ini….”

“Just shut up!” raungku, dengan masih memegangi kepala yang berdenyut-denyut ini. “Get me out of this fucking place!” Proyeksi gambar-gambar di dalam kepalaku semakin bisa kukendalikan keliarannya. Perlahan, kelebatan ingatan Ruft tersebut semakin samar terlihat, tapi kini ingatan itu melekat erat dalam kepalaku.

“Dengan hanya sebagian Ingatan yang ada pada diri Tuanku, hamba kira akan lebih baik untuk menjelaskan beberapa hal. Tapi jika itu yang Tuanku inginkan—baiklah”.

Matahari di dekatku lalu tampak meredup, begitu juga dengan sinar bintang-bintang. Sekali lagi, aku terseret masuk dalam gelap. Kali ini aku merasa sangat mengantuk, dan kemudian aku pun terlelap.

***

Kepalaku masih terasa pening, tapi aku memaksakan diri untuk bangun dan membuka mata. Sinar lampu yang menyinari ruangan terasa perih di mataku. Kemudian, ketika mataku telah terbiasa oleh silaunya, kulihat ibu yang sedang menungguku di samping tempat tidur. Ia duduk di kursi meja belajarku, dengan kepala terkulai di atas kasurku.

“Bu?” aku memanggilnya dengan suara lirih. Perasaanku amat tidak enak ketika melihat ibu menungguku seperti ini; terakhir kali ibu berjaga di sampingku adalah saat aku terkena demam hebat sewaktu kecil.

Aku membetulkan posisi tubuhku, mencoba untuk duduk tegak, “Bu”, kataku lagi, sambil menggerak-gerakkan lengannya, mencoba untuk membangunkannya.

Dan beberapa saat kemudian ibu terbangun, “Heinrik?” Ia menatapku penasaran.

Aku terdiam, mengamati lelah yang bergantung di pelupuk matanya – sepertinya ia terus menungguku, dan belum beranjak ke mana pun.

“Kau tidak apa-apa?” tanya ibu lagi.

“Ya—aku…”, dan Ibu pun langsung tersenyum senang mendengarnya. Aku diam sebentar mengamati senyum itu, lalu bertanya dengan penasaran, “Kenapa ibu tersenyum seperti itu?”

“Tidak—ibu hanya senang kau tidak apa-apa” kata ibu, sambil menempelkan telapaknya di dahiku, mengecek panas tubuhku.

Aku diam, merasakan damai dari sentuhan hangat perhatiannya. Tapi aku tidak sakit, dan ibu pasti tahu itu. Aku pun teringat akan acara ulang tahunku beberapa waktu lalu, “Jam berapa ini?”

“Jam 11”.

Memalukan—jatuh seperti orang lemah.

“Tak apa-apa—ibu bilang pada mereka bahwa kau hanya kelelahan saja. Besok Minggu mereka akan datang lagi—pesta yang sesungguhnya baru akan dimulai nanti”.

“Dia pasti tahu ibu berbohong”.

Ibu menatapku.

“Sherry”, kataku lagi.

“Oh, gadis bermata hijau itu?”

“Dia juga Ancient”.

“Ibu tahu; kau sudah sering cerita tentang dia”, ibu diam sebentar, kemudian berkata dengan sorot mata syahdu, “Kau sudah besar rupanya—cepat sekali waktu berlalu, ya?”

Hening kemudian, dan aku memilih untuk tetap diam; pikiranku rasanya lelah sekali – bahkan untuk memikirkan jawaban yang bisa menghilangkan kekhawatiran tersirat di wajah ibu, pun rasanya aku tak sanggup.

“Ibu tidak akan menanyakan apa-apa tentang Ingatan yang baru kau dapatkan—istirahat lah”, ibu lalu beranjak berdiri.

Jantungku berdegub kencang mendengarnya; seketika itu juga aku langsung menahan ibu untuk tetap tinggal. Jadi yang barusan bukan salah satu dari rangkaian mimpi-mimpi anehku?!

“Bu, dia bilang aku adalah Ruft”, kataku cepat. Rasa ingin tahu segera memenuhi pikiranku; ibu pasti tahu sesuatu!

Ibu tersentak, sorot matanya pun berubah serius.

“Jadi memang benar?” Aku menunduk letih; jika saja dari dulu ibu dan ayah memberitahukannya padaku, aku mungkin tidak akan kehilangan akal seperti ini. Jangankan membayangkan apa yang harus kulakukan, aku bahkan tidak tahu hari esok akan menjadi seperti apa. “Kenapa aku?” aku mengangkat kepalaku, menatap ibu lekat-lekat, “Kenapa bukan ayah, Reno, atau kakek? Apakah karena Raha bangun di masa-ku?”

Ibu diam sebentar, melihat jauh menembus ke dalam mataku, lalu berkata dengan berat hati, “Ya, karena kau yang paling dekat. Tapi Heinrik….”

“Bu!” suaraku meninggi, “Jadi kalian juga tahu itu? Lalu kenapa aku harus tinggal bersama paman Ben jika kau tahu aku akan pergi menghilang?”

“Heinrik, dengar, kau tahu ayahmu menjadi seorang antropolog karena dia ingin melacak keberadaan masa lalu bangsa kita. Ibu juga demikian. Ini menyangkut kita, bukan hanya kau-dan-aku atau aku-dan-dia. Kau telah mendapatkan Ingatan itu, jadi kau juga pasti sudah mengerti”.

“Aku tidak mengerti apapun!” raungku gusar; aku menatap ibu dengan pandangan menantang.

“Heinrik, ibu minta maaf. Mengertilah, keluarga kita….”

“Jangan memaksaku untuk mencoba mengerti; kalian tidak pernah mau mengerti diriku secara utuh! Why—why—why—aku selalu bertanya dalam hati; pasti ada alasan kenapa kalian melakukannya. Pada akhirnya jawaban yang kudapat sama sekali bukan hal yang ingin kudengar!”

“Heinrik, dengar dulu; ini untuk melindungimu”.

“Melindungiku? Melindungi siapa? Aku atau Ruft!? Aku bukan siapa-siapa, kan? Dan apakah kalian memang orang tua kandungku?”

“Heinrik!” ibu membentakku. Aku diam terkejut, mengamati ketegangan di wajahnya. Dan kemudian, entah mengapa mataku mendadak perih saat kulihat berkas air mata mengumpul di ujung mata ibu. Kurasa aku memang telah keterlaluan; ibu pasti memiliki alasan kuat untuk itu. Tapi aku tidak suka caranya.

Pandangan ibu berubah sayu, “Maaf”, dia lalu memelukku – aku membeku di tempat, menatap kosong ke arah pintu. Why—kalimat tanya itu sekali lagi memenuhi pikiranku. “Setiap kali melihatmu, ibu semakin takut kehilanganmu, dan ibu akan semakin mencintaimu pula; lalu bagaimana mungkin seorang ibu sanggup merelakan anaknya? Heinrik, setidaknya ibu ingin kau tahu bahwa kami selalu menyayangimu”.

Kurasakan kemudian punggungku basah oleh tetes air mata. “Bu, maaf kan aku. Hanya saja jika ibu membiarkanku untuk tahu itu sejak dulu, kupikir aku akan lebih siap”.

“Heinrik, kau berbeda….”

“Maka dari itu….”

“Heinrik?!” ibu tersentak kaget, melepaskan pelukannya. Ia menatapku tajam – aku dapat melihat jelas jalur bekas air mata di pipi ibu. “Tunggu dulu, bukankah kau bilang….” Ibu diam, tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya berbinar tidak percaya, yang mengapungkan setitik sinar harapan.

Dan aku tahu betul arti dari tatapan itu: hanya karena belum mendapatkan seluruh Ingatan itu, bukan berarti Ruft tidak akan mengambil alih diriku. Tapi untuk saat ini, “Bu, aku masih Heinrik yang dulu”.

Mendengarnya, Ibu langsung terduduk lesu di kursinya. Dia lalu menggelengkan kepala dengan putus asa. “Ada suatu masa di mana kau terpuruk di dalamnya, itu adalah saat ketika kau tidak bisa menyikapi takdir. Tapi, suatu saat nanti ibu yakin kau akan dapat menerimanya”. Ibu membelai wajahku. Aku berusaha agar air mataku tidak mengalir keluar membasahi tangannya yang mengusapkan kasih sayang. “Tidurlah ― tenangkan pikiranmu”.

Aku termenung; suaraku bersembunyi dari jangkauanku. Aku terus mencari keberadaan mereka, untuk mengeluarkan satu patah kata saja, apapun itu, sebagai ungkapan bahwa aku bahagia telah menjadi anaknya.

Kucoba merangkai isi pikiranku, “Aku…”, namum kemudian tidak kulanjutkan; aku tidak kuat untuk terus menatap senyum di wajah ibu – yang seakan berkata bahwa semua akan baik-baik saja, tapi aku tahu dia sendiri tidak meyakininya. Udara yang kuhirup terasa begitu menyesakkan. Ibu masih menungguku untuk melanjutkan, tapi aku pun menyerah untuk mencoba menyuarakan hal itu, “Ah—tidak”, aku lalu terdiam. Aku hanya ingin pandangan ibu tidak berubah, tetap seperti dulu, saat semua ini belum terjadi, bahwa aku tidak pernah berubah menjadi orang lain.

Ibu tersenyum, lalu berdiri dan membetulkan selimutku, “Ayo, kau butuh istirahat”. Aku lalu merebahkan tubuh, saat ibu menarik selimut menutupiku.

“Aku bukan anak kecil lagi, Bu”, kataku.

Ibu tersenyum mendengarnya, “Good night”, katanya kemudian. Dia pun berjalan menuju pintu keluar, mematikan lampu, dan keluar dari kamarku – meninggalkanku seorang diri.

Detik demi detik, tapi aku masih tidak bisa tertidur. Aku terus saja memandangi langit-langit kamar, berharap semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku akan muncul dan tertulis di sana.

“Cepat atau lambat, aku pasti akan kehilangan segalanya”, gumamku.

Sherry—sekarang semuanya sudah jelas. Saat pertama kali bertemu dengannya—, aku diam sebentar ketika menyadari kenangan itu, lalu tertawa kecil, Sampai berjanji pada diriku sendiri untuk selalu melindunginya. Tapi seberapa jauh aku bisa mempertahankan janji itu sebelum aku menjadi Ruft?

“Keift”, pikiranku lalu menampilkan sosok salah seorang anak Ruft. Aku tersentak, bangun dan duduk di atas tempat tidurku, ketika menyadari kemiripannya dengan Reno. “Tidak mungkin, kenapa sampai Reno juga?!”

Yang benar saja! Ini bukan panggung drama milik kalian!

No comments:

Post a Comment