Warning: "It is strongly prohibited to copy or distribute the content without the permission of the author"

Best Regard,
L.M.R. Pradana






Ini adalah edit ke-9, hahaha....
Maaf sebelumnya, aku hanya bisa menyajikan 50 halaman pertama pada kalian (tentu-nya aku tidak mau tersangkut masalah dengan pihak penerbit), tapi tentu saja dalam blog ini kalian bisa mengetahui lebih jauh hal-hal di luar cerita :D

*edit*
Well, sepertinya bab 5 tidak bisa dipisahkan. So, dengan adanya tambahan bab 5 ini, berarti seluruh "bagian 1" cerita udah lengkap. (total semua 66 halaman)

Selamat menikmati :)

Jan 24, 2010

1.

Good Bye And Welcome

“Thanks”.

Kuraih ransel di sampingku dan memanggulnya. Kakiku mulai menapak di antara keramaian. Deretan etalase di kiri dan kanan seakan mengikuti langkahku. Semakin jauh, semakin banyak pula kulihat orang-orang dengan koper mereka. Banyak juga yang tampaknya lebih suka menghabiskan waktu di kios-kios makanan dan minuman.

Tidak lama kemudian, aku pun telah berada pada ruangan luas dengan berderet-deret kursi yang memenuhinya, padat oleh orang-orang yang sedang menunggu waktu keberangkatan. Di luar, jauh menembus dinding kaca, terlihat beberapa pesawat yang landing ataupun take off.

Aku berhenti melangkah, mengamati sejenak ruangan ini, sibuk mencari kursi kosong. Kebanyakan kursi telah diduduki, tapi kemudian aku melihat satu yang kosong di samping seorang pria yang sedang membaca koran. Ada sekelompok anak kecil di dekat situ yang berkejaran – ibu mereka terlihat kerepotan membuat mereka duduk dengan tenang.

Aku kembali berjalan, berharap seseorang tidak mendahuluiku. Sebuah pengumuman tiba-tiba membahana. Aku mengambil tiket di sakuku; sepertinya nomor penerbangan yang diserukannya sama dengan yang tertera di tiketku.

Di saat aku sedang berjalan menyusuri deretan kursi, seseorang berdiri tiba-tiba. Daguku dan kepalanya berbenturan dengan kerasnya. Aku memegangi daguku yang habis tertumbuk; rahangku ngilu.

I’m sorry, my bad”, seorang gadis yang tadi bertubrukan denganku meringis menahan sakit, menunduk mencengkram erat ubun-ubunnya. Rambutnya pendek sebahu, lurus, dengan warna hitam kemerahan. Pada pangkal rambutnya, warna merah itu lumayan jelas terlihat tapi menjadi semakin hitam hingga keujung.

Aku mengulurkan tangan, membantunya berdiri. “You okay?”

“Yea, I’m alright”, katanya, sambil meraih uluran tanganku kulitnya yang putih berseri itu terasa halus saat aku menggapainya. Di saat dia mengangkat kepalanya dan menatapku dengan mata merahnya yang indah bagai ruby, untuk beberapa saat aku hanya terbengong dalam keterkejutan. Tapi kemudian aku pun terjaga. Dengan panik aku menengok ke segala sudut ruangan, berjaga seandainya ada yang mengikuti gadis ini.

“Hey, whats wrong?”

Aku kembali menatapnya dengan bingung, “Yours — that eyes…”, aku diam sebentar, mengganti kalimat yang baru saja akan kuutarakan tersebut menjadi, “You’ve got unique lens, huh?”

Gadis itu tersenyum, “I dont wear such things”.

Sial, ternyata benar. Aku kembali mengamati orang-orang yang ada di ruangan ini dengan was-was. Satu-persatu kuperhatikan gerak-gerik mereka.

“Excuse me, but is there anything wrong?”

“Didn’t you aware about your eyes?” bisikku, sambil masih mencari seseorang dengan gelagat yang mencurigakan.

“Excuse me?” dia bertanya dengan nada bingung.

Aku berbalik dengan penasaran; harusnya peringatanku cukup jelas. “Your eyes”, aku memberi kode, menunjuk ke arah mataku. Tapi dia tetap saja terlihat tidak mengerti maksudku. Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin dia bisa tidak menyadari bahayanya memerlihatkan mata merahnya? Lalu bagaimana dia bisa bertahan sampai sejauh ini tanpa diketahui mereka?

“You endanger yourself”, kataku, setengah frustasi.

Alisnya terangkat, dia memandangku bingung, tapi kemudian dia tersenyum padaku, “Thanks for your warning but I can protect myself, okay?”

“No, you dont understand. Hey, listen….”

“Sorry, I have to go”, senyum ramah kembali merekah di parasnya yang menawan, berseri dengan eloknya. Jemari lentiknya mengambil tiket pesawatku yang tergeletak di lantai, “Here”, dia lalu memberikannya padaku dan melangkah pergi.

“Hey, wait!”

“You’ll miss the plane”, dia melambai padaku, dengan gerakan yang seakan berkata bahwa dia akan baik-baik saja.

Aku segera mengecek nomor penerbangan di tiket dengan tergesa-gesa, mencocokkannya dengan pengumuman yang barusan kudengar. Dia benar tentang hal itu. Tapi aku masih tidak mengerti dengannya, dia sudah gila?Aku kini setengah ragu antara mengejarnya atau membiarkannya pergi.

Kembali kuamati sekeliling dengan khawatir, berharap tak satupun anggota dari organisasi itu ada di sini. Tapi akhirnya kuputuskan untuk berhenti; bisa-bisa aku juga ikut dicurigai. Jika dia juga sama seperti kami, harusnya dia tahu pasti akibat dari kelengahannya. Namun ketika dia membelok masuk ke kamar kecil, kupikir dia paham maksudku; kurasa tadi dia hanya berlagak tidak tahu. Aku pun segera melangkah pergi menuju pintu nomor delapan, sesuai dengan tempat pemberangkatan yang tertera pada tiket di genggamanku.

Di sana, orang-orang yang hendak melewati pintu nomor delapan, telah membentuk antrian. Beberapa saat kemudian, kini akupun telah bergabung dengan antrian itu.

”Boarding pass, Sir?” seorang petugas wanita menyapaku.

”Here you go”, aku lalu menyerahkan boarding pass di genggamanku: secarik kertas kecil yang digunakan sebagai pengganti tiket bagi penumpang yang hendak naik ke pesawat. Setelahnya, boarding pass-ku disobek sebagian dan dikembalikan lagi padaku.

Akupun kembali melangkah. Pandanganku berubah sayu bersamaan dengan langkahku melewati para petugas pemeriksa ini. Mulai dari sini, aku sadar betul bahwa aku sudah tidak bisa kembali lagi. Indonesia-lah tujuanku; tidak lagi di sini, Des Moines, Iowa.

Padahal dulu karena suatu alasan yang masih kupertanyakan ‘mengapa’ ayah mengirimku ke sini untuk tinggal bersama paman. Saat itu, lima tahun yang lalu, dengan mudahnya aku diprovokasi dengan alasan ‘untuk pendidikan yang lebih baik’. Lalu kenapa hanya aku? Reno, adikku, tetap tinggal – dan itu membuatku iri dengannya. Kini, ketika aku telah menemukan duniaku di sini, ayah memakai alasan yang juga sama tidak masuk akalnya bagiku.

Semua gara-gara kejadian waktu itu. Ayah sama sekali tidak membelaku, apalagi memercayaiku – bahkan ibu juga begitu. Walau waktu itu aku berurusan dengan pihak kepolisian, kenapa aku harus kembali setelah dinyatakan tidak bersalah? Konyol. Tidak lama lagi teman-teman terdekatku akan bertanya-tanya tentang kepergianku yang tanpa kabar. Aku tersenyum; aku akan berpuas hati menumpahkan semua kesalahan ini pada ayah begitu tiba nanti. Dan gadis tadi…. kenapa aku tiba-tiba memikirkannya?

Sebelumnya aku tidak merasakan apapun darinya, tapi mendadak sekarang aku tidak ingin jauh darinya. ‘Aku menemukannya setelah sekian lama’, itulah yang terbesit di pikiranku. Tapi bukankah sebelum ‘menemukan kembali’ pasti ada sebuah perjumpaan yang pernah terjadi? Siapa dia?

Aku diam sebentar, berhenti melangkah. Rasanya aku menemukan sebuah alasan untuk tetap tinggal: untuk melindungi gadis itu? Tidak, mungkin ini hanya deja vu karena aku terlalu banyak berpikir. Aku pun kembali melangkah, sambil terus memertanyakan berbagai hal yang sedang berpusar di pikiranku.

***

”Bagaimana kabar paman-bibimu?” tanya ayah, sambil menyendokkan nasi ke piringnya. Wajahnya tegas dengan garis-garis keriput yang samar, walau begitu aku ingat jelas kalau ia dulu senang bercandaentah kalau sekarang. Rambut dan kumisnya hitam dengan beberapa helaian yang telah memutih. Dia duduk di kursi yang saling berhadapan denganku. Dua kursi sisanya kosong; Ibu masih ada tugas keluar kota dan besok ia baru akan pulang, juga Reno yang masih menikmati liburannya di rumah sepupuku.

“Baik”, kataku. Gantian, sekarang aku yang menyendokkan nasi ke piring, sementara itu ayah mulai mencabik ikan bakar yang menjadi menu utama malam ini, lalu mengambil sesendok sambel. Sayur bayam bening tidak disentuhnya, tapi aku tahu ayah selalu menyantapnya secara terpisah sehabis makan.

“Marley?” tanya ayah lagi.

Wajah dan tingkah Marley yang ceria – anak dari paman-bibiku di mana dulu aku tinggal – terbayang di benakku. “Dia gadis yang cukup populer di sekolah”, kataku santai.

“Dari sudut pandangmu?”

Aku diam, tepat ketika hendak menikmati suapan pertama. Kupandangi ayah dengan bingung, “Pertanyaan apa itu? Ayah menjodohkanku?

Ayah menyeringai, sedikit menahan tawa, “Kau merasa begitu?”

“Bah!”

“Ternyata kau belum menyadarinya, ya? Selama ini Marley yang menjagamu”.

“Terus kenapa?” Aku agak sensitif dengan hal itu; dibandingkan dengan kaum-bermata-merah pada umumnya, terlebih untuk ukuran keluargaku yang berdarah murni, aku ini lemah; tidak beda jauh dengan manusia biasa. Tapi sebenarnya amarah yang kupendam inilah pemicu utamanya; aku masih tidak terima dipaksa pulang ke sini.

Ayah tidak membalas, hanya diam dengan segaris tipis senyum senang. Kami tidak lagi bercakap-cakap lebih jauh, hanya decak kepedasan dari ayah yang beberapa kali menambahkan sambel ke piringnya.

Ikan di atas meja segera saja telah menjadi tumpukan tulang tanpa daging. Ayah telah beralih menyantap sayur bayam bening. Aku menatapnya tajam; menunggunya menyelesaikan makannya terlebih dahulu, untuk kemudian akan kupaksa ia menjelaskan setiap halnya dengan terperinci. Aku bukan lagi anak kecil yang dulu mudah saja percaya padanya.

Suapan terakhir. Setelahnya ayah lalu meminum kuah sayur itu hingga tandas. Kurasa sekarang sudah waktunya untuk menyuarakan apa yang sedari tadi kupendam, ”Kenapa aku harus….” bersamaan dengan itu ayah berucap, ”Ayah punya cerita menarik dari…”, namun ayah segera menghentikan kalimatnya. Dia lalu tertawa.

”Kau duluan”, ayah mempersilakan.

”Tidak. Ayah saja. Sepertinya perjalanan ayah kali ini punya cerita menarik”, kataku. Aku ingin ayah meladeniku dengan serius kali ini, karena jika ayah telah mulai bercerita tentang apa yang ia temukan selama melakukan penelitiannya sebagai seorang antropolog, dia akan masuk ke dunianya sendiri dan lupa pada keadaan di sekitar.

Jadi, ayah pun dengan bangga menceritakan tumuannya ketika ia melakukan perjalanan ke suatu pulau di Indonesia di mana, katanya, dia melihat sebuah fosil manusia bermata satu, situs pemakaman yang beberapa makam di dalamnya mencapai panjang tiga meter, ilmu sihir yang masih eksis di daerah tersebut, dan beberapa adat istiadat yang menarik menurutnya.

”… dan lagi alamnya indah. Kau dan Reno tidak akan menyesal jika kita ke sana. Kita juga bisa diving nanti; tempat itu adalah salah satu yang terbaik di dunia….”

Oke, ini sudah terlalu lama, entah kapan selesainya, “Ayah dan ibu peduli padaku?” kataku tiba-tiba.

Ayah menatapku bingung, “Apa?” aku tetap diam, menatap menuntut jawaban, “Tentu saja”, katanya kemudian.

Aku tersenyum kecut, “Kupikir kalian membuangku”.

“Jangan konyol. Mana ada orang tua seperti itu. Kau lebih aman di sana. Dengan pekerjaanku dan ibumu, kami tidak bisa menjagamu setiap saat”.

“Tapi kenapa harus paman Ben? Kita punya banyak keluarga di sini”.

“Kau dan Marley akrab”.

Menjengkelkan, kenapa ayah memermasalahkan itu lagi? “Ayah betulan menjodohkanku?”

“Kau pikir begitu?”

“Oh, ayolah, kenapa tidak katakan saja yang sebenarnya?”

“Sekarang ayah tanya, kenapa dulu kau mau ke sana?”

“Ayah yang memaksa!” aku mulai gusar dengan arah pembicaraan ini; ayah memulai lagi kebiasaannya untuk mengeruhkan inti permasalahan dengan terus memutar-mutar percakapan. Aku sudah muak dengan taktik ini.

“Loh, kau sendiri dulu girang sekali. Setelah liburan di rumah paman Ben kau bilang ingin tetap di sana”.

“Aku tidak bilang begitu! Aku hanya ingin liburan lebih lama, tapi kalian malah mengurus kepindahanku”.

“Benarkah? Kok sepertinya….”

“Okay, stop! Katakan saja kenapa aku harus pulang. Ayah dengar sendiri kan, aku tidak bersalah!”

“Karena Oktober nanti kau berumur 17 tahun”.

“Terus kenapa? Aku tidak perlu didampingi siapapun saat menerima Ingatan itu”.

“Ibumu ingin ada di dekatmu ketika saat itu tiba. Dia rindu, dan hal sepenting itu tidak akan mau dilewatkannya”.

Aku diam untuk beberapa saat lamanya setelah mendengar kalimat ayah, “Kalian tidak mengerti diriku”, kataku lirih, “Aku juga punya kehidupan di sana. Ketika aku mulai menikmatinya, kalian merenggutnya”.

“Kehidupanmu yang sebenarnya adalah setelah menerima Ingatan itu. Kehidupan manusia normal memang menyenangkan. Ayah harap kau tidak dengan sengaja melupakan takdir bangsa kita. Henrik, kita ini Ancient. Kenyataan itu tidak akan pernah berubah; manusia menginginkan kehancuran kita”.

“Kenapa ucapan ayah seakan selalu benar dan aku selalu salah?”

“Kau pikir begitu?”

“Tidak—ayah salah. Terserah aku ingin hidup seperti apa. Sudahlah, aku capek, aku mau tidur”.

Sebelum memalingkan wajah aku masih sempat melihat ayah yang malah tersenyum padaku.

Aku berbaring di tempat tidur, pintu kamar telah kukunci dan lampu sengaja kumatikan, tapi aku masih saja sulit untuk tertidur. Pikiranku terlalu sibuk memertanyakan berbagai hal. Di saat semua hal itu membadai dalam kepalaku, ponsel di saku celanaku tiba-tiba saja berdering. Aku bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur, mengeluarkan ponselku, dan kemudian mengamati layarnya yang berkedip-kedip dalam gelap.

Richard?

Ponsel ini terus saja berdering dan aku tetap diam menatapnya. Entah apa yang harus aku katakan padanya. Semuanya berakhir tiba-tiba! Begitu juga Impian kami untuk sama-sama ikut dalam World Cyber Game. Padahal kami, Wing Edge, telah terpilih untuk mewakili Amerika dalam ajang itu.

Ponsel ini pun akhirnya berhenti berdering. Namun beberapa saat kemudian, dia kembali berdering dan berkedip-kedip dalam gelap. Dia sangat ingin bicara sepertinya, tapi aku masih tidak tahu harus berkata apa.

Beberapa saat kemudian aku teringat tentang seorang teman yang kurasa cukup bisa diandalkan untuk menggantikan posisiku di Wing Edge. Aku memang tidak punya harapan lagi untuk ikut serta, tapi aku tidak bisa membuat mereka terpaksa menghentikan apa yang telah kami capai. Impian Wing Edge masih mungkin untuk terwujud. Aku pun memutuskan untuk menjawabnya.

“Hi—whats up?”

No comments:

Post a Comment