Warning: "It is strongly prohibited to copy or distribute the content without the permission of the author"

Best Regard,
L.M.R. Pradana






Ini adalah edit ke-9, hahaha....
Maaf sebelumnya, aku hanya bisa menyajikan 50 halaman pertama pada kalian (tentu-nya aku tidak mau tersangkut masalah dengan pihak penerbit), tapi tentu saja dalam blog ini kalian bisa mengetahui lebih jauh hal-hal di luar cerita :D

*edit*
Well, sepertinya bab 5 tidak bisa dipisahkan. So, dengan adanya tambahan bab 5 ini, berarti seluruh "bagian 1" cerita udah lengkap. (total semua 66 halaman)

Selamat menikmati :)

Aug 3, 2010

Bab 5

5.

Paranoia

Aku masih menatap kosong pada gelas es teh di hadapanku. Riuh rendah percakapan mengelilingiku. Berada di antara mereka di sini – di kantin sekolah – pastinya akan membuatku tersamar. Tidak ada yang akan memerhatikanku dengan sungguh-sungguh. Mereka hanya tertawa dengan orang-orang yang mereka kenal saja. Aku tidak mungkin tertawa seperti mereka, simply karena aku tidak kenal mereka. Walau rasanya aku kenal beberapa wajah, tetap saja aku tidak yakin. Aku tidak pernah menganggap mereka penting untuk diingat, jadi pasti ingatan tentang mereka sudah tergantikan.

“Heinrik”.

Itu suara Sherry. Ya, tentunya ingatan tentangnya tidak akan tergantikan dengan mudahnya; aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

“Hey, Heinrik”, suara Sherry kali ini terdengar sedikit memaksa. Aku pun mengangkat kepala, memandang ke arahnya yang sedang duduk di hadapanku. “Kau sedang mikir apa sih?” ujarnya lagi.

Aku mengangkat alis; berusaha menangkap maksud sebenarnya dari ucapannya, “Kau tahu pasti apa itu”.

“Apa aku harus tahu semuanya?”

“Tidak, tapi tidak kukatakan pun kau juga pasti sudah tahu, kan?”

“Heinrik, dengar, belakangan ini kau—”

Suara bel masuk tiba-tiba meraung nyaring, menyita perhatian murid-murid—juga diriku. “Sudah masuk”, kataku.

“Hey! Kau dengar aku tidak?!”

“Ah—ya—tentu saja. Tapi kita sudah harus masuk kelas sekarang”, aku pun beranjak berdiri dan berjalan ke arah warung untuk membayar jajanan. Jadi, sepertinya Sherry tidak bisa melihat lebih jauh ke dalam pikiranku jika aku sendiri tidak fokus memikirkannya. Baiklah, dengan begini tidak perlu khawatir dia tahu apa yang telah terjadi.

***

Aku duduk, menatap ke depan kelas dengan tidak bergairah. Guru kimiaku terlihat seakan hanya mengatup-ngatupkan mulutnya tanpa suara. Entah kenapa aku bertahan untuk tetap ikut kelas ini, padahal pengetahuan milik Ruft bahkan jauh lebih mendalam dari apa yang sedang diterangkannya – tapi tentu saja aku tidak mungkin dengan bodohnya memamerkan kekuatan Elemental di hadapan orang-orang, hanya untuk menunjukkan bagaimana sebenarnya pengetahuan itu digunakan dalam sebuah pertarungan, bukan sekedar untuk dihafalkan! Dan bahkan aku tidak perlu menutupi rasa malasku, karena Roy juga terlihat sama tidak bergairahnya denganku. Beberapa murid pun terlihat menggunakan buku untuk mengipasi dirinya. Karena sebelumnya adalah pelajaran olahraga, kurasa guru itu pasti memaklumi.

Beberapa minggu lagi adalah ulang tahun sekolahku dan selebaran-selebaran lomba mulai ditempel di seluruh mading – termasuk juga mading kelas. Slogan satu kelas harus kompak, sekarang seakan tidak ada habisnya diucapkan. Kami tentunya kompak untuk beberapa hal, terutama menyontek PR dan tugas. Tapi bukan itu yang terus mengusikku jika berada di kelas ini. Belum pernah sebelumnya aku berada di situasi yang menjengkelkan seperti ini, ketika seseorang memanggil namaku dan aku berbincang dengannya padahal aku tidak bisa mengingat jelas siapa dia. Beberapa bulan sudah aku berada di sini dan tentunya tidak mungkin jika aku masih belum mengenali wajah setiap murid kelas ini. Tapi kenyataannya, aku terus saja hanya sekedar berpura-pura akrab pada mereka. Terkadang mereka marah padaku karena begitu mudahnya aku lupa dengan mereka. Namun demikian aku masih bisa mengenali dengan baik beberapa yang dekat denganku.

Ternyata, hidup ini menjadi amat membosankan ketika kita tahu bahwa semua yang akan didapatkan adalah semu. Begitu aku menjadi Ruft, yang tersisa paling hanya beberapa jam film pendek tentang kenangan-kenangan itu. Maka dari itu aku tidak butuh ingatan yang tidak penting.

***

Sherry pun melangkah turun, saat roda motor telah berhenti berputar tepat di depan pagar rumahnya.

“Heinrik”, dia memanggil.

Aku berbalik ke arahnya, “Huh? Ada apa?”

“Kau takut padaku?” Dia berdiri tepat di hadapanku. Matanya berkilat tajam, menatapku serius.

“Tidak”, kataku, berusaha untuk tetap terlihat normal – menyamarkan gugup yang menjalariku akibat tatapan matanya itu.

“Lalu kenapa menghindar?”

“Menghindari apa?”

Sherry menghela nafas, “Sudah kubilang kan: aku tidak sehebat itu bisa tahu semua hal yang kau pikirkan. Sekarang katakan padaku, siapa Ruft?”

Aku diam sebentar, memikirkan sebuah jawaban yang dapat menghilangkan keingintahuannya itu. “Temanku”, kataku kemudian, “Kenapa kau ingin tahu tentang dia?”

“Karena aku ingin tahu apa yang terjadi padamu; kau berubah”.

Aku tersentak kaget, tapi kemudian cepat-cepat memasang senyum, “Benarkah?”

Sherry sepertinya tidak senang mendengarnya; wajahnya berubah masam. “Baiklah, jika kau memang tidak ingin cerita, aku tidak akan bertanya”, serunya kesal, “Jangan buat aku berpikir bahwa kau adalah orang lain”. Sherry menatapku lekat; aku tetap bertahan untuk tidak berkedip—atau dia akan mendapatkan apa yang ingin diketahuinya. “Heinrik tidak pernah berbohong padaku”. Sherry lalu berbalik, berjalan masuk ke rumahnya. Aku hanya menatap saja sayu langkahnya yang kian menjauh.

Maaf, aku punya alasan tersendiri, yang tidak bisa kukatakan sekarang.

***

Jika malam tiba, maka aku berganti menjadi pribadi yang lain. Melihat semua hal dari mata Ruft tanpa berdaya untuk mengendalikan keadaan, membuatku berpikir seakan-akan dia memang nyata. Tapi aku tidak terima itu, karena aku lebih nyata dari dia – yang bahkan hanya muncul di mimpiku!

Setiap harinya aku terus bertanya kapan Fenrir, serigala yang waktu itu datang menemuiku, akan datang lagi dan memintaku untuk ikut bersamanya. Separuh dari diriku pasti akan muncul ke permukaan. Kalau sudah begitu, akankah aku masih bisa menolaknya?

Malam demi malam, dan kuharap sekali saja aku bisa tidur tanpa harus bermimpi. Walau aku tahu bahwa dengan bermimpi aku akan memberi ruang untuk ingatanku sendiri, tapi tidaklah gampang untuk menutup mata dan menghadapi dunia yang tidak kukenal itu. Dalam mimpi aku akan melihat kehidupan Ruft; di langit-langit kamar aku melihat kehidupanku sendiri.

Semua hal telah jelas, tapi aku butuh waktu untuk memutuskan.

Cahaya ponsel berkelap-kelip di atas meja di sampingku. Dia terus berdering; aku terus menatap langit-langit. Namun beberapa saat kemudian aku menjulurkan tangan meraihnya.

Aku mengamati sebuah nama yang tertera di layarnya.

Richard? Richard yang mana?

Aku berpikir sebentar. Ah—dia. Tapi aku menatap saja kelap-kelip lampunya, dan bahkan tidak memiliki minat untuk menjawab suara dering-nya.

Kemudian aku pun bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur. Aku melirik ke arah meja kecil di sampingku. Kubuka laci-nya, lalu kumasukkan ponsel tersebut ke dalamnya. Ini sudah larut malam, dia harusnya tahu aku berada di belahan dunia yang berbeda dengannya.

Aku lalu bangkit berdiri, berjalan ke arah meja belajar. Kuraih helm di bagian paling atasnya, dan berjalan meninggalkan kamar, setelah sebelumnya menyambar kunci motor di atas meja serta jaket yang tergantung di balik pintu.

Ketika menuruni tangga, suara televisi di ruang keluarga semakin jelas terdengar.

“Kau mau kemana?” Aku berpaling sebentar, mendapati ayah yang sedang berbaring, dengan remote televisi di tangannya. Di layar kaca, terlihat seorang reporter wanita yang berdiri dengan latar belakang rumah yang ambruk akibat tanah longsor.

“Jalan-jalan—aku tidak bisa tidur”.

“Kau pikir sudah jam berapa ini?” Aku mengarahkan pandang ke arah jam di atas televisi; jarum pendeknya berada di antara angka satu dan dua belas. “Jadi ini yang kau lakukan setiap malamnya di sana? Membalap? Mau jadi apa kau ugal-ugalan seperti itu?”

Aku diam menunduk. Mau jadi apa? Entah ayah sekedar bermain-main dengan kalimat itu atau dia memang telah lupa sama sekali, “Menurut ayah, aku bisa jadi apa nanti?”

Ayah langsung membeku, tidak berkata apa-apa—tatapannya hanya tertuju pada layar kaca. Berita di televisi telah berganti menjadi liputan tentang tawuran antar sekolah. Karena ayah tidak kunjung memberi jawaban, aku memutuskan bahwa itu artinya dia mengiyakan saja. Namun kemudian, ketika aku akan melangkah pergi, kudengar ayah mengehela nafas, dan berkata dengan canggung, “Anak muda—mereka selalu penuh energi”.

Aku tidak jadi melangkah pergi; ayah jelas sedang meledekku, dan seperti biasa, berusaha mematahkan niatku dengan menarikku dalam perdebatan logika. Aku tersenyum sinis, lalu balas berkata, “Orang tua—selalu menonton berita sampai larut malam”.

Tak kusangka ayah justru tertawa mendengarnya. Dia kemudian berkata, “Dulu ayah juga melakukan hal itu pada kakekmu”.

Terus? Apakah aku harus peduli?

“Hati-hati buka pintu garasi-nya; jangan sampai ibumu bangun”.

Aku tidak mengerti, “Kupikir ayah akan melarangku”.

“Dulu juga ayah pikir kakekmu akan marah ketika ayah membalasnya seperti itu”. Alisku terangkat heran mendengarnya—apa hubungannya denganku? “Jika kau bisa memertahankan keputusan yang kau percayai, apa yang bisa ayah lakukan?”

***

Jika berada dalam kecepatan tinggi, pikiran dipaksa untuk fokus. Tidak ada hal lain yang dapat kau pikirkan kecuali sensasi aliran udara yang menerjangmu. Adrenalin akan membuat jantungmu berdegub cepat, memberikan sensasi ketegangan yang menggairahkan. Kau bahkan akan merasa beratmu hilang, seakan kau adalah kecepatan itu sendiri.

Pada jam selarut ini, jalanan begitu sepi. Tidak ada lampu merah di persimpangan-nya, hanya lampu kuning yang berkedip-kedip redup – jadi tentunya tidak apa-apa menerjangnya. Jikalau ada polisi lalu-lintas yang tidak berkenan dan memutuskan untuk mengejarku, kupikir justru akan menjadi suatu hiburan tersendiri.

Memasuki jalan lintas kota, aku tidak lagi menahan diri. Aku melirik speedometer-ku: sudah mencapai angka 110km/jam. Segera kunaikkan perseneling menjadi gear empat.

Ini aneh, tapi aku tidak mengerti kenapa begitu. Ketegangan yang kurasakan tidak sama seperti dulu. Rasanya ada yang hilang. Bukan karena tidak ada uang taruhan sehingga kau juga akan memertaruhkan harga diri untuk kecepatan yang sanggup kau tembus, tapi ini rasanya— kosong.

Huh?

Aku seketika berbalik, menengok ke belakang. Tidak ada siapa-siapa ternyata. Mungkin hanya perasaanku saja; dengan kecepatan ini mustahil seseorang bisa mengejarku tanpa terdengar deru mesinnya. Tapi tadi sangat dekat, tepat di balik punggungku. Dan bahkan itu lebih tidak mungkin lagi; untuk apa dia menempel di balikku dan terus mengawasiku? Ini pasti hanya paranoia—Ruft hanya ada di mimpiku!

***

Roda motor telah berhenti di depan pagar rumahnya, namun kali ini Sherry enggan untuk turun, berkeras untuk tetap berada di boncengan. Dia bersandar di punggungku, diam dan menunggu. Jantungku berdegub cepat, dan apakah karena itu ia tidak ingin turun? Untuk mendengar panik yang berdetak semakin cepat itu?

“Kenapa kau hanya diam?” Sherry akhirnya berkata, dengan kalimat yang terdengar lirih, “Kenapa aku tidak boleh tahu?”

Jadi dia pun akhirnya tahu bahwa aku menyembunyikan hal tersebut darinya? Setiap harinya semakin berat saja, dan entah apakah aku masih bisa berkelit kali ini. Mungkin aku memang harus mengakui itu, tapi aku ingin menunggu sedikit lagi.

“Yang menunggu itu sebenarnya kau atau aku?” ujar Sherry lagi.

Gelisah dan khawatir telah menjadi satu saat ini, oleh lembut kalimatnya yang justru terdengar tajam mengiris-iris itu. Aku hanya sedang menunggu saat yang tepat, itu saja.

“Kenapa?” Sherry bertanya lagi.

Aku menelan ludah; rasanya begitu menyesakkan setiap kali ia mengucapkan kalimat-kalimat tanya itu.

“Kenapa?”

Lagi-lagi kalimat tanya itu. Pasti akan kuberi jawabnya jika waktunya sudah tiba. Hanya saja saat ini….

“Saat ini kenapa?”

Aku diam; pikiranku mendadak buntu. Untuk apa dia terus bertanya-tanya jika dia tahu apa yang ada dalam pikiranku?

“Kalau begitu tanyakanlah”, katanya cepat, “Tanyakan kenapa aku sangat ingin tahu apa yang terjadi padamu”.

Aku diam untuk beberapa saat lamanya, memikirkan maksud ucapannya. Dan akhirnya aku pun menanyakannya juga, “Kenapa?”

“Sama denganmu”, Sherry berujar ringan, “aku takut cara pandangmu terhadapku berubah”.

Pikiranku mendadak kacau; itu alasan utama yang membuatku enggan untuk memberitahukan hal tersebut! Jadi ternyata dia juga tahu itu!?

“Jadi, apakah sekarang kau mau memberitahukanku kenapa?”

Jika memang semudah itu mengatakannya….

Andaikan saat ini aku berjanji untuk menemanimu di setiap pilihan yang kau ambil, akankah kau mau mengatakannya padaku?”

Aku tertegun kaget. Tidak mungkin…. Apakah dia juga tahu tentang janji itu?! Lalu kenapa dia juga sampai berpikiran membuat janji seperti itu? Aku tidak mengerti; aku bisa saja dengan mudah menyanggupinya—bukankah itu timbal-balik yang seimbang? Tapi aku juga terlalu takut untuk terus menambah kenangan indah bersamanya—bagaimana jika suatu saat nanti ternyata ingatan tentangnya tak lebih dari sekedar bayang-bayang kabur? Tidak apa-apa walau hanya berupa potongan kecil, asalkan aku bisa mengingatnya dengan jelas dan nyata. Dan kalau ingatan itu hilang perlahan….

“Baiklah, kalau begitu―sampai nanti”, ujar Sherry. Dia turun dari boncengan, dan mulai melangkah pergi meninggalkanku.

Panik dengan cepat mengambil kendali kesadaranku. Aku belum selesai memutuskan! Dan dia bahkan telah pergi, secepat itu? Kalau begini caranya aku akan segera melupakan semua ingatan tentangnya bahkan sebelum menjadi Ruft sekalipun! Jantungku berdegub kencang menyadari hal tersebut: Ini bukan perpisahan yang seharusnya terjadi!

“Sherry, tunggu!” aku turun dan berlari mengejarnya.

Sherry pun mengehentikan langkahnya. Dia berbalik, menungguku dengan seulas senyum.

“Jadi, apakah akhirnya aku boleh tahu?”

Aku berhenti, dengan nafas yang masih terengah-engah. Ini tidak akan sulit, aku hanya perlu berkata bahwa, “Aku…,” namun mendadak aku tidak bisa berkata-kata lagi. Di langit biru, sebuah bongkahan yang berselimut kobaran api telah merenggut perhatianku. Aku bergidik ngeri; tidak mungkin secepat itu dia datang menemuiku, kan? Lalu apakah itu artinya aku harus segera merelakan semua ingatan-ku sekarang?

“Ada apa?” Sherry berpaling ke belakang, mengikuti arah pandangku.

Benda itu melesat cepat jatuh dari langit, dan bahkan langsung menuju ke arah kami. Aku bergerak refleks menarik Sherry untuk tiarap. Sedetik kemudian benda itu jatuh tidak jauh di belakang Sherry. Tanah langsung bergetar hebat ketika ia menghantam bumi. Puing bangunan berserakan, berhamburan ke segala arah. Debu-debu mengepul kemudian, menutupi pandangan mata.

Aku menyibak kabut debu tersebut, dengan satu gerakan ringan ayunan tangan, dan hembusan angin pun membawanya pergi menjauh. Ketika kembali mengarahkan pandang ke angkasa, kutahu bahwa bongkahan tadi hanyalah sebuah pembukaan saja. Satu-persatu lubang-lubang hitam tercipta di langit, dan satu demi satu pula bongkahan membara itu dimuntahkan.

“Meteor?” tanya Sherry, sambil terbatuk-batuk.

“Bukan”, jawabku cepat. Perhatianku masih tidak teralihkan dari satu lubang hitam terbesarnya. Ada empat simbol Ewashj kuno yang mengelilinginya, yang merefleksikan makna dari air, api, tanah, serta angin. Tapi dari pada itu, aku tidak habis pikir berapa banyak lubang hitam lagi yang akan terus tercipta seperti itu? Ini saja bahkan adalah jumlah yang teramat banyak, memenuhi langit dengan teror kengerian. Bagaimana mungkin bisa sebanyak itu pejuang Ewashj yang gugur? Lalu yang terbesar itu bahkan adalah Ewashj dengan tingkatan tertinggi! Ada apa sebenarnya? Terlalu berlebihan; dunia luar bisa rusak jika ia menggunakan inti kekuatan mereka seperti ini—bukankah Raha ingin memakai Bumi ini sebagai tubuh Terra?

A—ayah?”

Aku berpaling pada Sherry, ia membelalak kalut ketika mendapati rumahnya telah luluh lantah. Tanpa pikir panjang ia segera berlari menuju puing-puing sisa rumahnya itu. Kemudian, sebuah bongkahan lagi melesat jatuh dari langit, langsung ke arahnya. Ini gila; Sherry berlari menyongsong maut!

Aku bergerak cepat memanipulasi aliran udara dengan energiku. Pusaran udara kemudian tercipta dan memusat pada satu titik. Dengan cepat ia memampat hingga menjadi sebuah bola udara dengan tekanan ekstrim. Aku lalu melesatkannya langsung ke arah benda berkobar itu. Ledakkan keras yang memekakkan telinga pun tercipta saat keduanya beradu, yang bahkan membuat udara di sekitar ikut bergetar. Sherry tersungkur jatuh karenanya, dan aku pun segera berlari menghampirinya.

Ayo—kita harus pergi dari sini”, aku membantunya untuk berdiri.

“Tidak…. Ayahku—dia masih….” Sherry terbengong, menatap kosong ke arah rumahnya.

Dia tidak mungkin selamat”, kataku, memanggulnya untuk berjalan.

“Tidak—dia….”

“Ayahmu pasti ingin kau terus hidup. Kita harus segera pergi dari sini secepatnya”.

Sherry beralih sebentar ke arahku, “Tapi—dia kemarin….”, dan ia pun terisak setelahnya; dia tidak akan bisa terus memungkiri kenyataan jika melihat kondisi rumahnya yang rata dengan tanah seperti itu.

Kuberdirikan motorku, dan untunglah mesin-nya tidak apa-apa. Aku lalu membatu Sherry naik ke boncengan dan kami pun melaju kencang.

Seluruh langit terlihat dipenuhi lubang hitam. Deretan ledakan dari muntahan lubang-lubang hitam itu terus menggetarkan tanah. Tidak hanya aku yang berpikir untuk melarikan diri dari situasi ini; juga tidak hanya aku yang tidak tahu harus pergi ke mana. Mungkin suatu tempat, jauh di luar kota, aku akan terbebas dari pemandangan langit yang menyeramkan ini.

Sudah waktunya”. Suara itu menggaung dalam kepalaku, suara yang sama dengan yang kudengar di Ingatan. Tapi aku mengacuhkannya dan tetap fokus mengemudi.

“Lari dan terus berlari—tidak ada tempat untuk lari”.

Diam!

Sekarang, katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya”, Sherry berkata tiba-tiba.

Aku diam sebentar, namun kemudian kuputuskan untuk memberitahu apa hal sebenarnya di balik kegilaan ini. “Raha—”, aku menelan ludah—betulkah tidak apa-apa dia mengetahuinya? Namun aku kembali berkata, dengan suara bergetar, “dia datang untukku; dia butuh aku”.

“Siapa dia? Siapa yang tadi kau ajak bicara? Dan siapa Ruft?”

Aku kembali terdiam. Nyaliku bersembunyi jauh dari jangkauanku. Jika aku menjawabnya, Sherry akan tahu kebenaran tentang diriku. Dia mungkin memang sudah tahu, tapi itu abstrak. Jika aku membiarkannya tahu dengan cara itu….

“Kalau begitu, bisakah kau beritahu aku di mana Heinrik yang selama ini bersamaku?”

Sial, rasanya sakit sekali mendengarnya. “Aku masih Heinrik”, kataku, “Setidaknya sampai saat ini”.

“Hanya itu? Masih ada yang lainnya, kan?”

Aku kehilangan ingatanku sedikit demi sedikit sampai….”

“Sampai kau benar-benar menjadi Ruft?” sambung Sherry.

Jadi memang percuma menyembunyikan itu dari pengetahuannya? Tapi aku tidak mengerti; jika dia memang sudah mengetahuinya kenapa harus berpura-pura tidak tahu?

“Itu karena aku takut semuanya tidak bisa kembali seperti dulu”, Sherry mendekapku lebih erat, “Aku tak mau lagi kehilangan”.

Semua yang tertangkap pandangan mataku berubah sayu. Orang-orang yang berlarian panik, juga kemacetan yang mulai memadati jalan, seakan berada di dunia yang berbeda. Kalimat yang diucapkan Sherry barusan, aku mengerti betul perasaan itu; aku juga tidak ingin merasakan kehilangan. Ternyata perasaan takut kehilangan itu amat mengerikan, setiap harinya teror itu terasa makin menyesakkan dada. Dan jika semuanya memang akhirnya harus hilang, aku….

Aku tercengang kaget. Atmosfer ini—rasanya ada sesuatu yang menekan kuat dari langit. Aku menengok sebentar, mendapati lubang hitam terbesarnya tengah dilalap kobaran api dahsyat. Sesuatu berpijar dari dalamnya, dengan lidah api yang begitu ganas dan liar. Energi yang panas menyengat ini….bahkan sampai Sarkan, penguasa dunia Ewashj Api juga telah takluk?!

“Tuan Ruft, Anda yang saat ini belum mampu untuk mengalahkannya”.

Aku tahu.

Lalu inti kekuatan itu pun dimuntakahkan. Jika daya hancur dari energi perusak yang dihamburkannya sudah terasa menyengat seperti ini, dampak yang bisa ditimbulkannya nanti tidaklah terelakkan setidaknya untuk radius beratus-ratus kilometer jauhnya.

“Sherry, pegangan yang erat”, kataku, ketika menemukan bahu jalan yang lapang. Aku lalu memiringkan motor sambil melakukan panic breaking. Putaran roda terkunci; aku berusaha mengendalikan gerakan motor agar tidak selip. Beberapa detik kemudian motor pun telah berhenti sempurna, bersamaan dengan debu yang terlempar ke udara.

“Ada apa? Kenapa berhenti?” tanya Sherry, terdengar agak sedikit gelisah dan cemas. Tapi ia pun turun juga dari motor.

“Tidak ada tempat untuk lari”, aku mematikan mesin, menengok sebentar ke arah datangnya inti kekuatan Sarkan tersebut. Pikiranku dengan cepat mengkalkulasikan kecepatan dan momentum pijar bola api itu.

Baiklahberikan sedikit lagi ingatan itu; banyaknya cukup sekedar untuk mengalahkannya, tidak lebih.

“Tapi Tuan Ruft….”

Berhenti memanggilku dengan nama itu!

“Dengan hormat, hentikan keras kepala Anda. Sekalipun bisa mengalahkannya, Anda akan terluka parah karenanya”.

Lakukan saja! Hanya hapus yang sudah tidak kubutuhkan.

“Heinrik?” panggil Sherry.

Aku berbalik. Dia terlihat kusut; menatapku dengan sorot mata yang redup.

Aku tersenyum, “Tidak apa-apa”, kataku.

Aku tersentak; kepalaku mendadak serasa ditindih beban berat. Keseimbanganku goyah, membuatku hampir terjatuh.

“Heinrik!” Sherry berseru takut.

Tapi aku memberi kode padanya untuk tidak khawatir. Memang selalu seperti ini, sensasi yang sama dengan sebelumnya: ingatan Ruft dipaksakan masuk mendesak ingatanku sendiri. Kelebatan bayangan itu naik ke atas panggung, mementaskan gambaran masa lalu Ruft, acak dan terus berganti-ganti dengan cepat, berputar-putar bak pusaran angin. Pembuluh-pembuluh dalam tubuhku pun seakan bangkit dari hibernasi-nya, memompakan lebih banyak kekuatan ke seluruh tubuh, memperbesar kapasitas tampung energi murni.

Tanganku masih mencengkram erat kepala yang berdenyut-denyut ini. Energi murni mengalir, merembes ke dalam tanah. Lalu dengan satu ayunan tangan dariku, unsur-unsur keras dalam tanah telah diikatnya, dan ia pun menjulang tinggi, naik sebagai sebuah tembok setinggi kira-kira tiga meter. Dengan cepat ia melengkung, berubah menjadi selubung yang mengitari Sherry, yang akan mengamankannya dari dampak serangan yang akan kukerahkan. “Berlindung di sini”, ujarku.

Aku kembali menatap ke arah datangnya inti kekuatan Sarkan; dalam hitungan detik dia akan segera menghantam. Aku menggapai keberadaan tiap sel tubuhku, memperdengarkan tiupan terompet perang pada mereka. Mereka seketika menjawabnya dengan memacu diri, deras mengalirkan keluar energi murni, hingga aura tipis pun mulai tercipta menyelimutiku. Tapi jumlah ini belumlah cukup; segel-segel pengaman, yang dibentuk oleh kekuatan untuk mengendalikan aliran energi murni tubuh, kubiarkan terbuka, dan aliran energi murni itu pun menbanjir tanpa tertahankan lagi. Namun dengan 94% energi murni yang kukerahkan, tubuh ini terpaksa harus menerima beban balik yang kuat. Hanya ada satu kesempatan dan aku tidak boleh gagal.

Aliran energi itu dirombak menjadi Elemental Dasar: Peralihan, dan menarik konsentrasi unsur karbon ke lengan kananku. Sisa energi itu berubah menjadi Elemental Dasar: Perusak, yang haus ingin melahap semuanya dengan hantaman daya hancurnya yang kian menjadi-jadi. Lalu Elemental Turunan: Elemental Ledakkan, adalah pemicunya untuk membebaskan daya hancur itu, pada satu serangan penentu nanti.

Tubuhku kini menjadi semakin tidak seimbang seiring menipisnya jumlah energi murni yang dirombak. Aku mengangkat kepala, menatap lurus ke depan. Terakhir, kupakai energi murni itu untuk membantu pergerakan, dengan membuat otot-otot tubuh lebih rileks dan tidak kaku. Lalu aku pun bertolak, melesat cepat menyonsong pijar bola api itu. Aku melompat, menyambut kedatangannya dengan satu pukulan kuat. Daya hancur di lengan kananku meledak keluar tak tertahankan, dan sebuah ledakkan akibat tumbukan dua kekuatan pun berdentum memekakkan telinga. Tanganku bergetar hebat, darah segera merembes ke luar dari pembuluh-pembulus halusnya. Rusukku tertekan, yang kemudian juga menekan paru-paruku. Organ-organ dalamku memakai sisa energi murni untuk memproteksi diri, tapi terlalu berlebihan dan justru mengacaukan aliran energi murni dalam tubuh – aku bahkan sudah tidak mampu lagi mengendalikan sirkulasi energi murni tersebut.

Ledakkan tersebut membuatku terpental kembali ke belakang. Saat itu, kusaksikan bahwa inti kekuatan Sarkan tidak hancur, melainkan berubah haluan dan menabrak tanah. Benturannya dengan bumi menciptakan hembusan kuat angin yang semakin jauh mementalkanku. Tubuhku menabrak selubung pengaman yang kubuat untuk Sherry. Lajuku sedikit berkurang karenanya, dan aku pun terjatuh terseret di tanah.

Aku terbaring tak berdaya, merasakan permukaan bumi yang terus bergetar luar biasa. Bangunan-bangunan yang terkena hambusan angin ledakkan tadi terlihat begitu mengenaskan; semuanya hampir rata dengan tanah. Retakan-retakan tanah bahkan mulai terbentuk di mana-mana, membuat patahan-patahan yang dalam dan semakin meluas. Selain gemuruh yang berasal dari dalam perut bumi, kota ini sekarang sunyi; bahkan angin pun enggan berhembus.

Sherry tergeletak pingsan tidak jauh dari tempatku berada. Ada bercak darah di pelipisnya. Aku berusaha bangkit berdiri untuk menolongnya, tapi bahkan aku tidak bisa menolong diriku sendiri. Tubuh ini rasanya berat dan hampir-hampir tidak bisa digerakkan. Matahari begitu pedih dan menyilaukan. Dan aku bahkan tidak kuat lagi untuk bertahan terus membuka mata. Aku lelah; aku hanya ingin tidur sebentar saja. Tapi kemudian, di saat aku hendak menutup mata, kulihat seseorang berjalan mendekat menghampiriku. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas; cahaya matahari itu membutakanku.

Langkahnya berhenti tepat di depan wajahku. “Telah kusaksikan hal memalukan yang kau tampilkan”, dia bergumam, berkata dalam bahasa Anãçcΐa kuno: bahasa yang seharusnya sudah musnah, tapi bahkan aku mendengarnya seperti bahasa yang biasa kugunakan sehari-hari.Inikah adikku?” katanya lagi, Betapa lemahnya”. Dia kemudian menendang perutku, hingga membuatku terhempas jauh ke belakang.

Aku terbatuk dan memuntahkan darah. Telingaku berdengung, pandanganku mengabur dengan cepat. Dia kini terlihat tidak lebih dari sekedar siluet samar. Lalu, sejenak kemudian semuanya pun telah menjadi hitam gelap.

No comments:

Post a Comment