Warning: "It is strongly prohibited to copy or distribute the content without the permission of the author"

Best Regard,
L.M.R. Pradana






Ini adalah edit ke-9, hahaha....
Maaf sebelumnya, aku hanya bisa menyajikan 50 halaman pertama pada kalian (tentu-nya aku tidak mau tersangkut masalah dengan pihak penerbit), tapi tentu saja dalam blog ini kalian bisa mengetahui lebih jauh hal-hal di luar cerita :D

*edit*
Well, sepertinya bab 5 tidak bisa dipisahkan. So, dengan adanya tambahan bab 5 ini, berarti seluruh "bagian 1" cerita udah lengkap. (total semua 66 halaman)

Selamat menikmati :)

Jan 24, 2010

2.

Magnet

Aku masih terus berlari di antara lebat pepohonan, menuju kobaran api yang terlihat di kejauhan. Liuk liar api itu telah membuatku kalut, mengacaukan pikiranku, menghadirkan praduga tidak menyenangkan. Lalu, ketika aku hampir mencapai tempat di mana kobaran api itu berasal, siluet orang terlihat berlari menjauh, langsung menuju ke arahku. Yang jelas terlihat hanyalah mata merahnya yang berkilat di antara bayangan pohon di senja hari. Aku sungguh tidak suka perasaan hampa pada pantulan kilat matanya itu, yang tampak bagai lubang hitam yang menarik masuk semua duka. Hanya dengan tatapan itu saja aku dapat memastikan hal buruk telah terjadi.

”Apa yang…”, tepat ketika hendak menyuarakan keingintahuanku, dia meraih lenganku dan menyeretku untuk ikut berlari juga. Namun aku berontak, melepaskan cengkramannya, ”Aku ingin tahu apa yang terjadi!” raungku.

Pemuda itu berhenti dan diam. Dia menoleh ke jalan yang dilaluinya tadi dengan cemas. Ia berpaling beberapa kali padaku seperti sedang memertimbangkan sesuatu. Sikapnya yang seperti itu telah menghadirkan prasangka-prasangka liar dan gelap di benakku. Dan situasi pun menjadi semakin membingungkan ketika kulihat para pengejar di kejauhan muncul satu-persatu dari balik bayangan pohon dan semak.

”Di mana Ibunda? Tolong katakan, Kak, bahwa kau telah menjauhkannya dari kelancangan mereka”.

Ia menatapku, sekali lagi dengan tatapannya yang sungguh sangat tidak mengenakkan itu. Hanya sesaat, dan dia kembali mengarahkan pandangannya pada kedatangan sepasukan tentara yang memacu tunggangannya. ”Pergi—aku urus mereka. Kau tidak boleh terlibat”, aura tipis putih-terang mulai menyelimuti tubuh pemuda itu, lalu satu-persatu sublimasi cahaya-putih pun terbentuk dari aura tipis itu, yang terus saja berputar-putar mengitarinya bagai kumpulan kunang-kunang. “Ruft, kuharap kau ingat jelas apa yang telah dipercayakan Ibunda padamu—karena mulai sekarang kita akan melakukannya tanpa bimbingan darinya”, sorot matanya memperlihatkan dengan jelas sebuah kemarahan yang berbaur menjadi satu dengan duka.

Aku hanya berdiri diam menyaksikan dia berlari menghambur ke arah kerumunan itu – membanjirkan darah, mengoyak tubuh mereka tanpa sedikitpun belas kasih ataupun rasa ragu. Bahkan ketika semakin banyak pasukan yang berdatangan, aku masih saja berdiam diri menatap kosong ke arah pertarungan itu, terus berusaha mencerna maksud ucapannya yang membingungkan. Dan kemudian kemarahan yang sama sekali tak mendasar mendesak keluar, yang tidak kumengerti dari mana datangnya.

Jantungku berdegup dengan kerasnya. Seketika itu juga aku langsung terjaga, dan ketika aku membuka mata, kutahu aku telah berada di tempat dan waktu yang sama sekali berbeda.

Mimpi?

Seharusnya hal-hal di sekelilingku cukup jelas memberitahukanku bahwa aku telah berada di ruang makan keluarga, tapi mimpi barusan masih saja memerangkapku. Gambarannya sama aslinya dengan sebungkus roti tawar, sepiring roti bakar, dan selai yang terhidang di hadapanku.

Jantungku masih terus berdegup kencang, mendetakkan kemarahan luar biasa. Aku ingin kembali ke dalam mimpi itu, menghajar orang itu untuk memaksanya menjelaskan arti dari ucapannya. Tapi kenapa? Padahal sedetik tadi rasanya aku mengerti dengan amat sangat setiap kebenaran yang mengapung dalam pemikiranku. Untuk sesaat tadi, rasanya aku mengetahui hal yang telah lama kuragukan sebelumnya. Dan juga dalam waktu yang sekejap itu pula, aku merasakan duka yang amat mendalam.

”Kau tak apa, Kak?” tanya Reno, yang memandangku sedikit khawatir. Kami hanya selisih tiga tahun, dan di umurnya yang baru beranjak remaja itu dia masih berwajah polos. Rambut Reno pendek berantakan, yang harusnya berwarna sama merahnya dengan matanya, tapi kami menyembunyikan warna merah darah itu dalam kelamnya warna hitam. Untuk hal satu ini, tak ada yang berani membantah Ayah, dan memang seperti itu kenyataannya bahwa manusia membenci kami, walau hanya segelintir saja dari mereka yang masih mengingat alasan dari rasa benci itu.

”Ah, yeah—hanya sedikit pusing”, aku meraih ransel pada kursi kosong di sampingku, “Ayo berangkat”.

”Sarapanmu?”

”Aku tidak lapar”.

***

Sebelumnya, di depan kelas, aku memperkenalkan diri sebagai Heinrik Bernard, juga ayah-ku yang berdarah Norwegia dan ibu yang merupakan penduduk asli negara ini. Awalnya aku ragu haruskah aku jujur mengenai hobiku yang mereka tanyakan, tapi pada akhirnya aku tidak mengatakan apapun tentang itu. Masa laluku bersama Wing Edge sebagai seorang gamer dan kesenanganku membalap sebagai wildracer pastinya hanya akan melekatkan stigma negatif.

Rasanya canggung berada di sini, entah bagaimana aku harus bersikap di lingkungan baru ini. Saat ini pun aku terus saja menatap sepasang burung mungil yang melompat-lompat dengan riangnya pada dahan pohon di luar jendela; iri rasanya melihat mereka yang terlihat begitu menikmati pagi ini. Lalu dengan satu kepakan kuat, burung itu terbang pergi, dan segera temannya bertolak mengikutinya. Aku pun beralih pada Roy, siswa berambut hitam yang dipotong pendek jabrik, yang duduk se-meja denganku. Dia terlihat asyik mencorat-coret buku tulisnya dengan bantuan sebuah penggaris. Tidak jelas apa yang sedang digambarnya.

“Kau gambar apa?” aku bertanya penasaran.

“Pesawat”, jawabnya enteng.

“Huh?”

“Ini belum jadi”.

Aku mendesah lelah sembari melayangkan pandang pada huruf dan angka di papan tulis. Kucatat beberapa hal yang sekiranya memang penting, tapi kemudian aku mulai bosan dan moncorat-coret saja buku tuliskubukan sebuah gambar, melainkan coretan formasi menyerang Wing Edge yang belakangan sering kami latih. Kuharap saat ini mereka sukses mematahkan perlawanan Kanada dan aku akan mendengar kabar kemenangan itu nanti malam.

“Apa itu?” tanya Roy, menengok ke arah coretan milikku.

“Bukan apa-apa”.

“Ini”, dia menunjuk pada tulisan Wing Edge yang ada di pojok kiri atas. Aku berbalik padanya; dia terlihat antusias.

“Wing Edge?”

“Mereka hebat”, Roy nyegir, “Main juga lo?”

Aku menatapnya bingung, “Ini tim-ku”.

Roy diam, melongo tidak percaya. “Bangsat! Lo anak Wing Edge?” dia mendadak menjadi begitu bersemangat, sepertinya dia mengikuti perkembangan WCG untuk jenis game yang diikuti Wing Edge. Dua orang siswa yang duduk di bangku depan segera menoleh pada kami, sama terkejutnya dengan Roy. Roy pun menjadi begitu cerewet, menanyakan berbagai hal padaku – katanya mereka juga memainkan jenis game itu.

Aneh rasanya mendengar mereka membicarakannya demikian seru. Aku hargai itu—setidaknya aku tidak betul-betul terasing dari duniaku.

Waktu tak pernah berhenti berlalu. Dia baru saja membunyikan bel istirahat. Semula aku malas keluar dari kelas karena murid-murid, terutama murid perempuan, masih terus mengawasi dan berbisik-bisik di belakangku. Kalau bukan karena lapar, aku tidak akan menerima ajakan Roy dan dua orang temannya untuk ke kantin.

Sepanjang jalan, Roy terus saja disapa – sepertinya dia cukup terkenal. Dan sepanjang jalan pula mata demi mata silih berganti menatapku. Aku tidak suka tatapan mereka. Apa karena aku seorang murid baru? Tapi untunglah sang Waktu kembali membunyikan bel, yang berarti jam istirahat telah selesai. Aku menegak es tehku dan bergegas kembali ke kelas.

Pelajaran telah berganti menjadi pelajaran fisika. Belum pernah sebelumnya aku melihat seorang murid yang terus membantah semua yang dikatakan gurunya, seperti yang sedang dilakukan Roy – walaupun dia tidak menyuarakannya secara lantang dan hanya terdengar sebagai komat-kamit tidak jelas. Namun beberapa saat kemudian, Roy kembali mencorat-coret buku tulisnya. Dia masih berkutat dengan sketsa pesawat-nya – yang sudah mulai jelas bentuknya. Harus kuakui buatannya itu agak unik dan elegan.

Aku pun kembali menatap ke luar jendela; lebih menarik daripada harus menatap uraian dari rumus-rumus di papan tulis.

Keheningan kelas mendadak terpecah oleh suara ketukan pintu. Seseorang masuk, lalu bisik-bisik bersemangat dari murid-murid mulai ramai terdengar.

Aku berpaling dengan malas, sekedar ingin tahu apa yang terjadi.

“What the—f….”

Aku terbelalak menatap seorang siswi yang berdiri di samping seorang guru pria berumur paruh baya. Dia adalah gadis yang di bandara tempo hari dulu, dan dia sama sekali tidak berusaha menyembunyikan warna matanya itu!

Gadis itu berbincang sebentar dengan guruku.

“Napa lo?” tanya Roy, heran terhadap reaksiku.

“Ah—tidak ada apa-apa”, aku masih menatap lekat ke arah gadis itu.

Beberapa saat kemudian guru tersebut memanggil beberapa nama. Dua orang siswa yang dipanggil segera maju ke depan, diiringi sahutan dan ledekan murid-murid cowok yang ada di deretan belakang kelas. Kedua siswa itu dipanggil berkenaan dengan perihal pentas teater.

Gadis itu akhirnya menangkap kehadiranku. Dia lalu tersenyum.

Kini aku yakin betul bahwa yang kemarin itu bukanlah deja vu belaka. Senyum itu memang miliknya, yang selalu sulit kubedakan apakah itu artinya dia sedang dalam suka-cita atau justru sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi siapa dia?

Dari mana ingatan-ingatan tentangnya berasal? Karena sebagian lagi diriku memastikan bahwa aku tidak pernah bertemu dia selama hidupku. Yang paling mungkin adalah dia mirip dengan seseorang yang kukenal. Tapi jika seyakin ini, seharusnya sosok orang yang kukenal itu bisa kuingat!

“Kenal, lo?” tanya Roy lagi.

“Pernah ketemu”.

“Cantik, ya?”

“Ya”, jawabku spontan; masih terpaku menatapnya. Yang kurasakan kini adalah perasaan rindu yang mendalam, seakan ada sesuatu yang berontak ingin keluar dan dia tidak mau terpisah lagi.

“Sherry! Ada yang naksir!” raung Roy tiba-tiba.

“Hey!” sekonyong-konyong aku berbalik marah pada Roy, “Kau—“, namun pikiranku mendadak buntu. Perhatian kelas kini teralih ke arah kami dan gemuruh tawa seketika itu juga memenuhi kelas. Kemudian kulihat seringai kemenangan melengkung lebar di wajah Roy. Aku diam mendongkol dengan rasa malu, kembali menatap ke depan kelas, berlagak seakan tidak terjadi apa-apa.

Gadis itu terlihat tersenyum sipu, membuatku semakin merasa tidak nyaman.

“Tidak apa-apa, wajar kok—aku mengerti perasaanmu, Nak”, bisik Roy, untuk memanas-manasiku.

“Diam kau!”

Roy langsung terkekeh geli mendengar jawabanku.

Aku hanya diam menahan malu, hingga gadis itu serta dua orang siswa yang-tadi-dipanggil-maju meninggalkan kelas, dan keadaan pun menjadi tenang kembali dengan cepat. Guru di depan kembali mengambil alih perhatian kelas dengan lanjut menerangkan materi pelajaran.

“Dia juga blasteran kayak lo—darah Amrik-Indo”, bisik Roy.

“So?” aku menatap guru yang menerangkan itu dengan serius, berusaha tidak peduli dengan bisikannya.

“Udah—jangan jaim deh lo. Tadi aja lo ga kedip liatin dia terus”, desak Roy.

“Kenapa tidak kau urus saja dirimu sendiri?” kataku jengkel.

“Gue udah sesepuh, boy”, ujar Roy, “Tapi sekarang lagi nge-jomblo”.

“Dan kau bangga dengan itu?”

“Eits, ini cuma status sementara, cuy. Perkara mudah kalo lo tahu caranya”.

Aku berbalik padanya, “Kau ini enak sekali ya kalau bicara?”

“Napa emang? Salah?” dia menatapku, dengan pandangan menantang, membuatku semakin kesal saja.

“Kau tahu kenapa tidak ada deskripsi valid tentang cinta? Itu karena dia hanya bisa dirasakan. Berhentilah membual”.

“Gue udah empat kali pacaran; idealisme beda dengan kenyataan, cuy; dibuat fun aja”. Roy diam sebentar, dia lalu nampak berusaha menahan tawa, “Ngerti gue sekarang; belum pernah pacaran kan lo?”

Kalimat itu menohokku, tapi aku punya alasan kuat untuk itu, “Aku bukan tipikal orang yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama”.

“Ga ada hubungannya, goblok. Sikap lo itu yang bikin lo ga punya pacar. Tampang tuh, manfaatin”.

“Roy, berisik lo!” kata siswa yang duduk tepat di belakang Roy. Dia tiba-tiba saja menendang kursi Roy dengan cukup kuat.

“Rewel aja lo, Rif”, Roy sedikit menengok ke belakang.

“Pak Surya liatin sini terus, bego!”

“Ntar gue yang tahan badan kalo dia ngasih soal—seperti biasa”.

“Batu, lo! Serah lo deh”.

Roy lalu beralih padaku, “Nah, Bro, jadi gimana?”

Aku sungguh tidak suka dengan cara pandang Roy tentang hal ini, yang sangat bertolak belakang denganku. “Lebih baik sekali dan untuk selamanya”, kataku lirih, sambil pura-pura mencatat apa yang diucapkan guruku – jelas terlihat dari sini lirikan mata Pak Surya yang mulai geram dengan tingkah Roy. Dan sialnya aku duduk di samping anak sinting ini. Seandainya saja teman sebangkunya tidak absen karena sakit, aku tidak harus terjebak dalam situasi tidak mengenakkan ini.

“Gila! Selamanya? Selamanya menunggu!?” Tawa Roy tiba-tiba meledak, sontak membuatnya terpingkal-pingkal. “Ceweknya keburu habis gue embat semua!” lanjut Roy, masih sambil terbahak-bahak, “Masa muda mah nikmati aja dulu!”

Dua hal yang harus dia ketahui dari gelak tawanya itu: pertama, aku tidak suka dengan tawa menjengkelkannya itu; kedua, tidakkah dia sadar kalau tawanya itu terlalu keras? Tapi aku diam saja, karena dari sini, di meja keempat dari depan, dengan jelas kulihat Pak Surya yang berjalan ke arah papan tulis. Lalu sedetik kemudian penghapus papan tulis melayang dari genggamannya, langsung mengarah pada Roy. Sudah dapat ditebak dia akan terhantam telak. Tapi tak disangka, tanpa menoleh sebelumnya, Roy secara refleks meliukkan badannya dan berhasil menghindar. Penghapus itu justru telak menghantam siswa yang duduk di samping Arif, tepat di belakangku.

“Bwahahaha—anjing, muka lo jelek amat, Don!” ejek Roy, menertawai wajah Doni yang hitam terkena penghapus papan tulis. Namun kemudian Roy berhenti tertawa ketika sadar bahwa hanya dia yang tertawa. Kelas hening; seluruh perhatian tertuju pada meja kami. Aku yang sudah tahu ini sebelumnya, diam saja dan berlagak tidak tahu.

“Kalian berdua, berdiri di luar”, kata Pak Surya lembut, tapi dengan nada dingin menusuk.

Seketika itu juga aku berontak; Roy yang salah! “Tapi Pak, saya….”

“Keluar!”

Gelembung-gelembung amarah tercipta dari darahku yang mendidih. Roy yang salah dan aku ikut dikeluarkan? Fuck!

“Bagus. Gara-gara kau, aku ikut dikeluarkan”, gerutuku pada Roy. Kesintingannya telah menyeretku menemaninya ikut berdiri di lorong luar kelas. Dia tampaknya sama sekali tidak menyesali perbuatannya dan masih bisa terkekeh geli dengan kelakuannya sendiri.

“Memang bagus”, sambung Roy, tanpa beban dan tanpa perasaan bersalah. “Kalo gini kan jadi ga usah repot-repot mikir. Tahu ga apa yang lagi gue pikirin?”

“Dengan segala kesintinganmu tadi, aku ragu kau bisa berpikir”, jawabku ketus.

“Ampun, deh. Aku kan dah minta maaf”. Aku diam saja, Roy pun juga demikian. Sialan, memangnya permintaan maaf bisa mengembalikan segalanya?

“Heran deh”, kata Roy lagi, kutahu dia sedang berusaha mencairkan es yang membeku di antara kami, “Kok dia bisa jadi guru, ya? Wajah kayak cecak begitu, kan lebih cocok jadi pelawak. Bayangin aja deh kalau ada cecak yang berdiri sambil baca buku”.

Pikiranku mendadak memproyeksikan gambar cicak. Cicak itu lalu berdiri. Dia berjalan ke meja guru dan mengambil sebuah buku. Kalau dipikir-pikir lagi, wajah Pak Surya memang mirip cicak: kepalanya agak gepeng dan bibirnya sedikit monyong.

Aku pun terkekeh, “Dia kalau menjelaskan seperti baca mantra”, tambahku.

“Kalo ada nyamuk terbang dekatnya langsung disantap tuh”.

“Nyamuk mana yang mau dekat-dekat cicak sebesar itu?” aku kembali terkekeh geli.

“Nyamuknya lagi mabok, bego”.

“Dia akan lenyap seperti tragedi segitiga bermuda”.

Roy terpingkal, “Si Cecak bakal langsung teler tuh; makan nyamuk bumbu alkohol”.

“Haha—bukannya malah trance? Kan dia lagi baca mantra”.

“Jangan lupa menyan-nya”, Roy menambahkan.

Pikiranku seketika itu juga membayangkan sosok….

“Mbah Dukun!” seru Roy tiba-tiba.

Tawa pun meledak dari mulut kami. Namun kemudian….

BLETAK!! BLETAK!!

Ada benda tumpul keras yang tiba-tiba menghantam kepalaku, juga Roy. Ketika aku menoleh, tampak wajah merah-padam Pak Surya. Entah sejak kapan dia ada di situ, dengan penggaris segitiga siku-siku di tangannya.

“Pulang sekolah, kalian berdua temui saya di BK. Harus!” ancam Pak Surya.

Aku mengelus-elus kepalaku. Mau marah rasanya, tapi aku memang salah. Namun demikian aku juga merasakan kegairahan lain di saat yang bersamaan: jiwa pemberontak yang tak ingin terikat – atau yang sering diartikan sebagai kenakalan remaja oleh orang dewasa. Untuk beberapa waktu tadi kukira hari-hari akan berjalan monoton. Senang rasanya mengetahui bahwa aku berada dekat dengan sumber sensasi itu: autis pembawa masalah yang berdiri di sampingku. Padahal sewaktu di kantin, saat istirahat tadi, baru saja aku sedikit menaruh segan padanya yang disebut-sebut sebagai anak paling pintar di sekolah ini. Malah ada yang bilang kalau dia sering mengikuti olimpiade fisika, dan menang? Kedengarannya memang sulit dipercaya, bahkan oleh jenius sekalipun—dan aku tidak memilih untuk percaya pada label yang tidak penting seperti itu.

Butuh waktu bagiku untuk merangkai kembali apa yang telah tercerai-berai, dan yang paling utama adalah kepercayaan. Pertemanan itu kuat, makanya aku meyakinkan diriku bahwa tidak ada yang pantas menggantikan kawan-kawanku di Wing Edge. Orang dewasa tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau telah melupakannya? Karena alasan yang mereka tunjukkan, yang memisahkanku dari lingkungan pergaulanku, mempengaruhi cara pandangku terhadap mereka berdua.

Tapi nampaknya resistensi dariku tidak berlaku untuk orang-orang seperti Roy. Dia memperlihatkan padaku bahwa aku tidak harus berbagai kepercayaan, cukup jalani saja. Untuk beberapa hal aku memang setuju. Dan dalam beberapa hal pula kami bertolak belakang, bagai kutub magnet yang berseberangan. Tapi tentu saja kutub magnet yang berbeda akan selalu tarik-menarik. Kutub selatanku adalah idealisme dan prinsip; kutub utara milik Roy adalah kemampuannya mengubah dua hal itu menjadi bahan tertawaan. Kutub utaraku adalah pikiranku yang waras; kutub selatan milik Roy adalah kemampuannya dalam menghilangkan logika kewarasanku.

No comments:

Post a Comment