Warning: "It is strongly prohibited to copy or distribute the content without the permission of the author"

Best Regard,
L.M.R. Pradana






Ini adalah edit ke-9, hahaha....
Maaf sebelumnya, aku hanya bisa menyajikan 50 halaman pertama pada kalian (tentu-nya aku tidak mau tersangkut masalah dengan pihak penerbit), tapi tentu saja dalam blog ini kalian bisa mengetahui lebih jauh hal-hal di luar cerita :D

*edit*
Well, sepertinya bab 5 tidak bisa dipisahkan. So, dengan adanya tambahan bab 5 ini, berarti seluruh "bagian 1" cerita udah lengkap. (total semua 66 halaman)

Selamat menikmati :)

Jan 24, 2010

Prologue

Prologue

”Tapi rantai belenggu pun pada akhirnya bisa dilepas!”

Sinar matahari meredup, bersiap menyambut datangnya malam. Seorang wanita keibuan terus saja menatap hamparan luas pepohonan. Dari balkon kecil di depan kamarnya, dan pada ketinggian ini, pohon-pohon tersebut hanya terlihat bagai jarum-jarum hijau. Dia sedang berpikir keras memertimbangkan desakan anaknya itu; takdir sedang menciptakan sebuah persimpangan dan keputusannya kali ini akan menentukan arah yang harus dilalui bangsanya. “Waktu masih bisa berjalan sedikit lagi”, ucapnya. Pandangannya menatap jauh ke depan, pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang.

”Dan akan segera meniadakan kita!”

”Kakak, janji telah mengikat kita”. Sebuah suara baru tertangkap oleh pendengarannya. Wanita itu berbalik. Anak bungsunya yang baru saja datang sedang menatap kakaknya dengan kilatan penuh tuntutan. Kedua anaknya tersebut memiliki mata merah darah serta rambut yang merah berapi-api. Kedatangan tiba-tiba putra terkecilnya tersebut teramat mengejutkannya; topik kali ini belum layak diterimanya.

”Waktu akan membuatmu sadar akan makna janji itu”, kata si sulung, menanggapi ucapan adiknya. Dia lalu berjalan dengan aura yang menebar tekanan, menghampiri sang ibu yang juga memiliki mata dan rambut yang sama dengan anaknya.

Ada kilatan amarah pada sorot mata putra sulungnya itu. Sang ibu mengerti sekali bahwa semua desakan keadaan ini tidak lagi bisa dielakkan, tapi dia berharap si sulung bersabar sedikit lagi. Picu telah ditarik dan dia memang harus mengizinkan permohonan anaknya tersebut. Dia pun akhirnya mengangguk menyetujui, lalu si sulung pun menapak ke atas pagar balkon, kemudian melompat dan menghilang begitu saja di tengah udara.

Putra sulungnya tersebut akhirnya memulai juga perannya, walau sebetulnya masih terlalu cepat. Sekarang tinggal si bungsu. Perannya akan sangat sulit dijalani; butuh jiwa kuat untuk terus melangkah. Peran apapun yang dimainkannya nanti akan melengkapi juga peran sang sulung. Lalu sebagai seorang ibu bagi bangsanya, juga bagi anak-anaknya, sekarang ini hanya tinggal masalah keberanian darinya untuk melesatkan peluru takdir tersebut. Semua telah dimulai sekarang, sebuah pertaruhan yang akan menentukan kelangsungan hidup suatu roh kehidupan raksasa yang bergantung padanya. Suatu hari, di ujung perjuangan tersebut, akan ada suatu harapan terang yang telah menanti. Tapi itu semua akan terwujud jika tidak tergelincir takdir di tengah jalan. Saat generasi baru satu persatu lahir, kedua anaknya akan menjadi kakak tertua yang membimbing adik-adiknya, melewati pertaruhan besar yang telah ia percayakan.

Si bungsu berhenti menatap jejak kakaknya yang lenyap di udara, kemudian tatapan itu berubah pilu saat berganti memandang ke arah ibunya, ”Ibunda, kakak mengingkarimu”.

Batin keibuan langsung menegurnya untuk semua rencana yang telah disusunnya. Dia lalu tersenyum pada anak bungsunya; saat ini masih ada sisa waktu untuk menikmati kebersamaan dengannya sebelum akhirnya anaknya itu harus memulai juga perannya. ”Ruft, anakku, mendekatlah”, katanya, menyambut dengan tangan terbuka lebar yang penuh kasih. Si bungsu pun berjalan mendekat; ada duka di sorot matanya. ”Pilihan telah diambilnya”, sang ibu mencoba menenangkan kecemasan pada diri anaknya. ”Dia yang menentukan baik-tidaknya”, dibelainya rambut anaknya dengan kasih. Dia lalu melepaskan pelukannya; ditatapnya wajah penuh keteguhan anak bungsunya. ”Tak lama lagi, akan datang pilihan padamu”.

”Yang mana yang baik untuk melangkah?”

”Saat waktu tersebut akhirnya datang menghampirimu”, telunjuknya lalu terarah di dada anaknya, ”dia akan memberitahukannya padamu”. Mengatakannya seperti itu justru memerihkan hati sang ibu. Bukan masalah yang mana yang terbaik karena ia percaya pada anak-anaknya, tapi masalahnya adalah menjalani pilihan tersebut, yang sangat disadari akan begitu berliku, panjang, dan melelahkan.

Anak bungsungnya tersebut menatap heran jari ibundanya yang menempel di dadanya. Dia lalu tersenyum lebar, dan berseru dengan bersemangat, ”Aku akan mengembalikan kakak pada kita. Janji Ibunda akan terus bercahaya”.

Rupanya sang bungsu masih belum menyadari bahwa peran sang sulung tidak sama dengan perannya; mereka berdua tidak akan berjalan bersama-sama. Tapi sang ibu tetap tersenyum senang melihat semangat anaknya yang satu itu. Banyak hal yang harus diketahuinya, tapi belum saatnya. Biarpun pilihan yang diambilnya nanti berbeda, dia harus mengarahkannya untuk mencapai tujuan akhirnya: takdirnya sendiri dan takdir bangsanya – yang bahkan bukan merupakan penduduk bumi ini.

No comments:

Post a Comment