Warning: "It is strongly prohibited to copy or distribute the content without the permission of the author"

Best Regard,
L.M.R. Pradana






Ini adalah edit ke-9, hahaha....
Maaf sebelumnya, aku hanya bisa menyajikan 50 halaman pertama pada kalian (tentu-nya aku tidak mau tersangkut masalah dengan pihak penerbit), tapi tentu saja dalam blog ini kalian bisa mengetahui lebih jauh hal-hal di luar cerita :D

*edit*
Well, sepertinya bab 5 tidak bisa dipisahkan. So, dengan adanya tambahan bab 5 ini, berarti seluruh "bagian 1" cerita udah lengkap. (total semua 66 halaman)

Selamat menikmati :)

Jan 26, 2010

3.

Mimpi dan Ingatan

“Lo denger sendiri kan dia ngomong apa?” ujar Roy, mengakhiri kalimatnya dengan tawa.

Ya, jelas sekali. Ternyata Roy keluar masuk ruang BK lebih sering dari apa yang kukira, hingga beberapa staf konseling di dalamnya sudah tidak terlalu peduli lagi. Di ruangan itu aku diam saja ketika Pak Surya dan para staf mulai mengoceh – aku tidak mau memerparah citraku, terlebih ini adalah hari pertamaku masuk. Tapi Roy, konyolnya, malah berbincang akrab dengan orang-orang di ruangan itu. Pak Surya juga ternyata tidak benar-benar marah, tampak seperti dia hanya berusaha menjaga wibawanya di depan murid-murid dengan menyuruh kami keluar. Roy sungguh diperlakukan seperti anak mas, walau guru-guru dan staf sepertinya menyayangkan kelakuannya yang ugal-ugalan.

“Aku tidak yakin kau bisa tobat”, kataku; Roy hanya menanggapinya dengan kembali tertawa.

Aku dan Roy terus berjalan menuju area parkir. Anak satu ini terus saja menertawakan hal tadi, seakan dia bangga dengan itu. Tapi karena tingkahnya itu pula staf konseling di sana tidak jadi memberikan surat panggilan orang tua. Menurut mereka Roy sebenarnya anak yang baik—dan idiot kalau bolah aku tambahkan. Tapi sekalipun mereka benar memberikan surat panggilan pada orang tua, aku ragu dapat menyerahkannya segera. Ayah dan ibu paling cepat mungkin baru akan pulang sekitar sebulan lagi—seperti itulah mereka, jadi jangan salahkanku jika aku lebih ingin tinggal bersama paman Ben.

Kusadari kemudian sinar matahari telah jauh berkurang kecerahannya. Aku mengambil ponsel dari saku celana, “Jam empat”, gumamku, lalu memasukkannya kembali. Sekilas, ketika aku melempar pandang ke arah gerbang sekolah, aku melihat seseorang yang sepertinya kukenal. Aku kembali melayangkan pandang ke arahnya. Aku berhenti melangkah; memerhatikannya. Apa ada yang salah dalam kepalaku?

“Ada apa?” tanya Roy heran.

“Sherry”. Dia duduk di halte bus, depan pintu gerbang sekolahku.

Roy mendesah, “Jujur aja deh, lo suka sama dia, kan?” katanya. Rupanya si Roy masih penasaran dengan perdebatan tadi siang. Daripada itu, aku benar-benar ingin tahu dari mana ingatan tentang gadis itu berasal.

“Aku ingin memastikan sesuatu”.

“Omongan lo—sok banget!” seru Roy, sambil meninju lenganku.

“Okay, kalau begitu siapa dia?” kataku, gerah dengan tingkahnya. Kenapa dia harus sebegitu pedulinya jika aku memang ingin tahu lebih jauh tentang gadis itu?

“Ck, anak muda jaman sekarang”, kata Roy, dia terlihat senang berhasil memaksaku mengatakannya. Okay, mungkin dia memang hanya si brengsek yang mempermainkanku dan menganggap itu lucu!

“Aku serius!” kataku lagi.

“Kata orang bijak, kalau ingin memastikan sesuatu, lebih baik tanya langsung ke sumbernya”.

Sialan, kuhajar lama-lama anak satu ini. “Percuma bertanya padamu”.

“Hahaha, dia belum punya pacar—senang kan lo?”

Dan aku bahkan tidak menanyakan hal itu; dia menyimpulkan seenaknya. Sumpah, aku ingin sekali menyumbat mulutnya.

Kami kembali melangkah menuju area parkir motor murid, di samping lapangan basket. Roy akhirnya berhenti berlagak pilon dan dia pun memberitahukanku sedikit tentang Sherry: dia adalah ketua teater, kelas 2 IPA, memiliki seorang kakak yang ganteng dan gaul—apa peduliku dengan hal itu?—serta beberapa hal lainnya yang tidak butuh untuk kuketahui. Senang rasanya telah mengetahuinya, dan sekarang menjadi jelas bahwa aku memang tidak mengenal satupun hal tentangnya.

Aku duduk di atas jok motorku, menatap ke arah lapangan basket. Lebih banyak murid ceweknya dibandingkan pemain intinya yang sedang mengajarkan mereka gerak dasar—kurasa mereka tidak sungguh-sungguh berniat belajar basket; postur tubuh mereka tidak sesuai, juga karena mereka terlihat berkerumun dipojok berbisik-bisik sambil melirik para pemain inti. Kutebak, hanya beberapa saja dari mereka yang akan tetap datang latihan hari-hari berikutnya. Di Iowa ataupun di sini, kelakuan para gadis sama saja. Aku lalu menyalakan mesin motor, menghampiri Roy dan motor underbone hitamnya.

“Najis, itu motor lo?” sahut Roy, matanya berkilat tidak percaya ketika aku melaju ke arahnya. Aku tersenyum dalam hati melihat reaksinya, berusaha menutupi besar kepalaku.

“Tetap saja, aku tidak akan menang dengan mesin seperti ini”. Aku memandang motor sport hitamku yang bergaris body tegas dan tajam. Mesin-nya masih sama dengan buatan pabrik, hanya saja rasio-nya sudah kuatur ulang.

“Serius lo?” Roy berkerut, menatapku bingung, “Yang benar aja—itu motor balap, kan? Lo balapan?”

“Wildrace? Yeah. Tapi hanya sebagai Joki”.

Roy tertawa, “Pacuan kuda emamg?”

Aku tertawa sebentar, lalu menjawabnya dengan senyuman, “Punya mesin bagus belum tentu bisa pakai dengan benar. Nobody likes to be the loser; winner takes all”. Dan begitulah bagaimana aku mendapatkannya, Aprilia Sport RS 125 cc. Motor ini lebih dari sekedar kendaraan, bagiku.

“Ho…. jadi lo ngerasa jago?”

Seringai lebar melengkung di wajahku, dia mau mengetesku? “Kapan dan di mana biasanya ada race? Ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan dengan kata-kata”.

Roy langsung tertawa mendengarnya, “Bangsad bener—percaya aja dah”, katanya. Roy kembali melirik ke arah motorku seakan baru pertama kali melihat modelnya—entahlah, kupikir Aprilia adalah merek yang lumayan dikenal. “By the way”, ujar Roy kemudian, “lo duluan aja sono, ga enak—ganggu”.

“Hah? Kau tinggal jalan saja, kan?”

“Udah, lo jalan duluan aja sono”.

Aku mengangkat bahu, heran. Dan kemudian aku pun memutuskan untuk melaju meninggalkannya. Sulit ditebak apa maunya anak jabrik satu itu.

Sherry masih duduk menunggu di halte bus, dengan sebuah helm di pangkuannya. Roda motor berputar semakin pelan, hingga kemudian berhenti di depannya. Aku menatapnya; dia pun demikian. Pandangan kami bertemu, saling berusaha mengingat satu sama lain.

“Hai”, sapaku kemudian, dengan sedikit canggung, saat melihat senyum melengkung manis di wajahnya.

“Kok aku tidak pernah tahu kalau kita satu sekolah, ya?”

“Ah—well—aku murid pindahan dan ini adalah hari pertamaku masuk sekolah”, aku lalu mengulurkan tangan, “Namaku Heinrik Bernard”.

Sherry hanya menatap saja uluran tanganku, “Sherry Arista Claudia”, katanya kemudian.

Aku tertawa kecil, dengan amat tidak natural, sambil cepat-cepat menarik uluran tanganku dengan kikuk. “Rasanya aku pernah bertemu denganmu”.

Kali ini dia menatapku bingung, “Di bandara, kan?”

Sebenarnya bukan itu yang kumaksudkan. Jadi memang deja vu kalau begitu.

“Deja vu?” tanya Sherry, tiba-tiba.

“Hah?” aku tertegun; logikaku segera berputar cepat mencerna maksud ucapannya. Aku tidak menyuarakan pikiran barusan!

“Aku pernah baca tentang itu”, lanjut Sherry.

Apakah tadi aku mengatakan kata itu dengan jelas padanya?

“Kalau tidak salah itu adalah efek dari proses pembacaan informasi-informasi yang tersimpan pada bawah sadar”. Sherry mengakhiri ucapannya dengan senyum, seakan menanyakan padaku apakah ada bagian dari kalimatnya yang harus dikoreksi—dikoreksi untuk apa? Aku bahkan lebih penasaran dengan….

“Aku tebak, kau ingin menawarkan tumpangan padaku, kan?”

What!?

Dia jelas-jelas penebak yang luar biasa kalau begitu. Aku memang berniat menawarkannya tumpangan, tapi bahkan aku belum menyinggung hal itu sama sekali.

“Jadi, kita pergi sekarang? Kurasa kakak-ku sudah pulang duluan. Padahal sudah kubilang jemput jam setengah empat”.

“Tunggu, tunggu dulu, kau bisa—“

“Kenapa? Kupikir ini hal yang wajar; aku juga seorang Ancient, kan?”

“Hey!” aku membentaknya. Dia tertegun kaget, menatapku dengan sedikit segan. “Ah, maaf—tapi tolong, jika kau memang tahu siapa dirimu, harusnya kau juga tahu hal-hal yang seharusnya cukup kau saja yang tahu”.

“Aku tidak mengerti cara berpikir orang-orang seperti kalian”, kata Sherry kemudian, terasa sekali perasaan antipati darinya.

Hah? Orang-orang seperti kalian? “Apa maksudmu?”

“Aneh, kurasa kau lebih tahu”.

Dahiku berkerut. Aku berkedip beberapa kali; menatapnya bingung. Kau membuatku berpikir bahwa kau tidak tahu siapa kita sebenarnya.

Dia mengangguk.

Oh—damn! I hate it. Dia tidak sadar bahwa kemampuannya itu tidak umum, juga dia tidak tahu apapun tentang siapa sebenarnya dirinya?

“Ada apa?” dia bertanya dengan lugunya.

“It was not a joke, to be sure”, gumamku. Pikiranku kacau sekali, aku sangat khawatir dengan gadis ini. Apa maksud orang tuanya membiarkan dia tidak tahu apapun? Sama sepertiku, aku juga lebih memilih untuk hidup sebagai manusia normal tanpa bayang-bayang rasa benci dari perseturuan masa lalu—tapi orang tuanya sudah keterlaluan kalau begini. Membiarkannya tanpa kewaspadaan? Yang benar saja!

“Kau tahu”, aku diam sebentar menatapnya—mungkin ini akan terdengar sangat konyol baginya, “aku akan sangat senang dan tidak keberatan mengantar-jemputmu tiap hari”.

Sherry diam sebentar, menatapku dengan kebingungan yang tersirat di wajahnya. Dia lalu tersenyum, “Aku bisa mengetahui niat jahat orang lain”.

Aku masih menatapnya, memohon dengan sorot mataku.

Sherry pun mengehembus lelah, “Okay, I believe you are not a bad guy, aren’t you?”

“Sorry, I didn’t mean to—“, aku terdiam heran saat melihat tatapannya, yang seakan memaksaku untuk mengatakan bahwa aku memang tidak bermaksud buruk padanya. Dengan kemampuannya, untuk apa memedulikannya? Dia harusnya merasa khawatir dengan ketidaktahuannya, “Am I like a bad guy to you?”

Dia menggeleng, tersenyum dan tertawa kecil, “Jadi, kita pergi sekarang?”

Aku memberinya kode, berpaling sekilas ke jok belakang, mempersilakannya naik. Aku mengawasinya, yang melangkah ringan ke arahku. Tidak pernah sebelumnya aku bertemu gadis sepertinya, yang bisa membuatku begitu khawatir terhadapnya sejak pertama kali bertemu. Aku memang tidak mengerti apa yang salah denganku, tapi aku akan terus mengkhawatirkannya karena…. karena apa?

Aku tertawa dalam hati; mungkin yang satu ini tidak butuh alasan yang jelas.

***

Beberapa hari ini aku selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Sherry. Aku pernah berbincang sebentar dengan ayahnya sewaktu menunggunya di pagi hari. Mungkin orang tuanya memang benar-benar tidak tahu. Lagipula, dengan kemampuannya, pastinya mudah saja bagi Sherry untuk mengetahui kebenaran itu. Aku ingin tahu kenapa bisa begitu; aku baru ingat ayah pernah berkata ada keluarga yang tidak mendapatkan Ingatan sehingga mereka tidak tahu asal-asulnya.

Rumahnya adalah tempat kos putri. Aku selalu menunggu di luar karena hal itu. Kata Roy, orang tua Sherry bercerai empat tahun lalu. Jadi karena itulah aku tidak pernah bertemu dengan ibunya—juga kakaknya. Roy terlalu banyak tahu—aneh memang—dan aku mulai curiga, dia pasti memiliki semacam hubungan khusus dengan Sherry, lebih dari sekedar kenalan ataupun teman.

“Kau bukan orang pertama yang sok kenal dan menceramahiku karena mata ini”, kata Sherry. Aku dan dia duduk di teras depan rumahnya, memandang halamannya yang luas, dengan deretan motor yang terparkir rapi di sudut halaman, di bawah dua buah pohon mangga; beberapa motor sisanya terparkir di garasi yang tidak berada jauh dari dua buah pohon itu. Rumahnya terpisah dengan bangunan kos yang bertingkat di kanan dan kirinya, membentuk tata ruang yang menyerupai huruf U.

“Mungkin kau benar—aku beruntung. Karena alasan pekerjaan, kami terpaksa hidup berpindah-pindah; itu resiko seorang jaksa tinggi di negeri ini. Dan hal itu pulalah yang memicu perselisihan ayah dan ibu”, Sherry tertawa; aku bahkan dapat merasakan kesedihan dalam tawa itu, “Pada akhirnya ayahku memutuskan untuk pensiun dini, tapi tetap saja ibu pergi dari sisi kami”, dia berusaha tegar dengan memerlihatkan sebuah senyuman, tapi aku melihat jelas setitik air mata – yang langsung disapunya ketika akan menetes jatuh. “Aku mendapatkan mata ini dari ibuku, mereka bilang aku mirip dengannya.

“Aku jadi ingin tahu lebih jauh tentang ceritamu. Lucu; sampai sekarang kami bahkan tidak pernah tahu apa yang telah terjadi pada ibuku. Dia—“, Sherry tidak melanjutkan kalimatnya, lalu tiba-tiba memasang senyum di wajah. Kurasa aku mengerti maksudnya, juga perasaannya. Itu adalah saat aku bertemu dengannya tempo hari, di bandara Des Moines. Aku belum pernah kehilangan anggota keluarga terdekat, hanya percaya saja ketika keluarga lainnya, yang pernah mengalaminya, berulang kali mengingatkan kami kenyataan itu. Mendengar cerita Sherry, aku merasa dekat dengan sumber ketakutan kami; kami jelas bisa mempertahankan diri melawan mereka, tapi di mana kami harus hidup nantinya jika semua manusia ingat kembali kebencian itu?

Sherry terdiam, memandang syahdu ke depan. Entah apa yang dipikirkannya dengan senyum itu; kali ini tidak terasa adanya kesedihan pada senyum itu; dia tampak sedang menikmati berada dalam kenangannya. Aku hanya diam di sampingnya, enggan mengajaknya bicara karena tidak mau mengusik senyum itu.

Senyumnya menyadarkanku betapa kekanak-kanakannya diriku, yang membenci ayah karena keputusan yang diambilnya. Melihat senyum Sherry, aku mulai bisa membayangkan hangatnya sebuah keluarga. Aku sangat mungkin mendapatkannya asalkan ayah dan ibu berhenti memberi perhatian lebih pada penelitian mereka.

“Kau janji akan selalu mengantar-jemputku, kan?” kata Sherry tiba-tiba, berbalik dan menatapku. Tapi tanpa menunggu tanggapan dariku, dia kembali berkata, “Kelas tiga memang tidak diwajibkan untuk ikut ekstrakurikuler, tapi maukah kau sedikit membantu kami?”

“Tidak masalah”, kataku.

Sherry tersenyum, “Thanks”.

Kami kembali terdiam, namun sebentar kemudian Sherry kembali bertanya padaku, “Oh iya, dan mengenai kontak lens, kau suka warna apa?”

Aku menatapnya heran, kupikir hal itu sepenuhnya tergantung seleranya, “Apa warna favoritmu?” aku bertanya balik.

“Hijau”.

“Yeah, kurasa akan cocok untukmu”.

***

Bermula dari hari itu, tiap harinya, sepulang sekolah, aku mengikuti Sherry dalam setiap rapat ekstrakurikuler teater yang dipimpinnya, juga memerhatikan dia dan teman-temannya yang sedang berlatih seni peran. Mereka akan pentas dalam waktu dekat. Dan saat ini, aku sedang duduk pada salah satu kursi di teras, menunggu Sherry berganti baju. Hari ini kami akan bertemu dengan pihak dari penyewaan peralatan untuk menegosiasikan ulang beberapa poin dalam proposal mereka.

Sejenak kemudian, ketika tatapanku sedang tertutuju ke arah jalan di luar, kulihat seseorang dengan potongan style jabrik – yang penampilannya sudah tidak asing lagi bagiku – sedang menggeser pintu pagar ke samping.

Melihat Roy yang datang dengan berjalan kaki, aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah tempat parkir motor. Dia tinggal dekat sini? Aku tidak menemukan motornya di situ—namun kemudian aku melihatnya sedang terparkir di garasi.

Mungkin dia hanya keluar cari rokok, tapi apa yang dia lakukan di sini?

Beberapa saat kemudian Roy akhirnya menyadari kehadiranku yang sedang memerhatikannya dari jauh, “Woi, Mr. Heinrik!” Dia pun segera berjalan menghampiriku. “Ngapain lo nyasar sampai sini?” Roy lalu melempar tubuhnya pada kursi yang sama denganku “Iya, ya. Ini kan kos putri. Lagi nyari mangsa, lo?” ledeknya, sambil tersenyum licik ke arahku.

“Bukannya itu kau?”

Roy tertawa sebentar, kemudian kembali melempar tanya padaku, “Gimana, situasi lancar-terkendali?”

“Hah?” aku menatapnya heran.

“Sherry”, lanjut Roy.

“Oh—ini aku lagi tunggu dia”.

“Sial, padahal aku mau muncul dengan cara yang keren”, keluh Roy, tiba-tiba.

“Kau bicara apa sih?”

“Ntar juga lo ngerti. Eh, cewek yang di kamar empat dah balik belum? Hot tuh”.

Kembali aku menatapnya heran.

“Sekali dan untuk selamanya”, ujar Roy, yang mengucapkannya dengan gaya puitis. Setelahnya dia pun menertawakan sendiri ucapannya.

Aku bingung melihat tingkahnya; walau dia sulit dimengerti, Roy tidak pernah terlihat seperti ini. “Kau kenapa? Ada masalah?”

Roy mendengus mengejek, “Baru sekali pacaran ga bakal ngerti deh lo; mantan gue….”

Aku tersentak mendengarnya, “Tunggu dulu, aku dan Sherry hanya….”

“Yang bener aja, lo kira gue bego?” Roy balas memotong ucapanku. “Lo bareng dia terus!”

“Aku hanya….”

“Udah, diem. Ntar juga lo berdua jadian”.

Aku lalu memilih untuk diam, Roy pun demikian. Entah ada apa dengannnya; aku jadi merasa asing padanya.

“Sorry”, kata Roy kemudian; dia kini terlihat lebih kalem, “Gue lagi ga marah sama lo kok”.

“Mantanmu kenapa?” tanyaku, sedikit berempati padanya; bagaimanapun juga Roy terlihat sangat lain dari biasanya.

Roy tertawa kecut, “Biasa, cewek, cemburuan mulu”.

Itu adalah salah satu hal paling aneh yang pernah kudengar; jelas saja mereka akan cemburuan jika punya pacar playboy seperti Roy.

“Hei, Roy, ayah nyariin tuh”. Aku langsung berpaling ke arah asal suara: Sherry mendadak muncul dan berjalan ke arah kami. Dia nampak lebih santai dengan kaos putih dan jeans biru yang dikenakannya.

“Udah tahu”, jawab Roy cepat; dan aku pun berbalik lagi ke arahnya. Roy terlihat sedikit kesal.

Loh? Mereka berdua….

“Jadi, kau sudah kenal kakakku sepertinya”, ujar Sherry lagi. Aku sontak kembali menengok ke arahnya, memerhatikan lekat senyum yang terbentuk di wajahnya.

Dulu aku memang sempat mengira mereka kakak-adik, tapi aku telah membuang pemikiran itu jauh-jauh karena sifat Roy yang bagai bumi dan langit jika dibandingkan dengan Sherry. Dari gelagat Roy, kupikir dia dan Sherry….

Aku pun tertawa kecil; rasanya seperti telah dipermainkan. Kini aku mengerti maksud ucapan Roy tentang ‘muncul dengan cara yang keren’. Aku lalu melirik ke arah Roy, “Kakak yang ganteng dan gaul, huh?” ledekku.

Roy terkekeh sebentar mendengarnya, “Lambat lo”. Dia pun bangkit berdiri, lalu berjalan masuk ke arah rumah utama. Aku memerhatikannya, yang berjalan sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya – mirip orang frustasi yang tidak berhasil menemukan jawaban yang dicarinya.

“Dia kenapa?” tanyaku, masih menatap ke arah berlalunya Roy.

“Masalah dengan first love”, jawab Sherry santai.

Aku berbalik ke arah Sherry, menatap dengan dahi berkernyit, “Loh, katanya….”

“Itu tandanya mereka mau baikkan. Pasangan aneh; putus-sambung terus”.

“Loh, dia empat kali….”

“Kau ini percaya saja. Yang bener itu empat kali putus karena ceweknya ngira Roy selingkuh. Udah, ntar juga dia balik lagi kayak biasa. Ayo berangkat—udah setengah tiga nih”.

***

Hujan turun dengan derasnya. Suara percikan airnya bergemericik memenuhi pikiranku. Aku sungguh berharap suara percikannya itu dapat mengaburkan semuanya sehingga aku tidak akan dapat mengingat lagi apa yang ingin kulupakan.

”Ayahku memanggilmu”, kata seorang gadis Álfar.

Aku tetap diam menatap rintik hujan yang jatuh membasahi rumput taman. Deretan tiang berpilin dengan ukuran yang teramat besar menopang beranda samping bangunan istana ini, dan aku duduk di anak tangga teratasnya sambil menatap ke arah halaman indahnya yang diwarnai oleh berbagai jenis bunga, tanaman dengan bentuk-bentuk yang eksotis, juga pohon-pohon teduhnya. Tapi tetap saja keindahan itu tidak bisa dinikmati karena tersamar oleh tumpahan air langit, di bawah bayangan awan gelap yang membuat semuanya terlihat suram.

”Kenapa sepertinya air matamu yang tidak terlihat itu jatuh lebih deras dari hujan ini?”

Aku berbalik menatapnya; tersinggung oleh kalimatnya, ”Apa kau juga mau berkata bahwa kau mengerti yang kurasakan?”

”Aku tidak mengerti—tapi aku merasakannya juga”.

Aku hanya diam memerhatikannya, begitu juga dia yang menatapku dengan mata emerald-nya. Rambutnya mengombak hingga punggung, juga dengan warna yang sama dengan matanya itu. Daun telinganya menyirip ke samping. Dan seperti Álfar lainnya yang berperawakan elegan, dia pun juga demikian, bahkan terlihat begitu anggun dengan gaun hijau lembut yang sedang dikenakannya. Tapi aku tahu dia berbeda dengan kaum Álfar yang selama ini kukenal, karena baru kali ini ada Álfar yang memancarkan kehangatan untuk kami, yang bagi mereka kami lebih dikenal sebagai Anãçcΐa – sang Pembawa Kehancuran.

”Kau—siapa namamu?” tanyaku.

Naessa Elj Nifk Frejrik”.

Aku duduk di sini, dan dia berdiri di ujung sana. Tapi aku tidak merasakan adanya jarak di antara kami, seakan dia memang masuk dan ikut merasa bersamaku. Sinar matanya terasa lembut, menatapku seolah ingin meyakinkanku bahwa dia ingin duduk bersamaku, dalam kesepian ini.

Dia pun melangkah ke arahku, namun aku tahu kami hanya bisa sebatas ini, karena kesadaranku memanggilku untuk bangun dan kembali ke dunia nyata.

Aku masih tetap saja berbaring, berdiam menatap langit-langit kamar. Kepalaku lalu tiba-tiba berdenyut—selalu saja seperti ini jika telah terbangun dari rangkaian mimpi-mimpi itu. Lagi dan lagi, mimpi itu bersambung seperti jalinan cerita.

Mimpi datang dari Ingatan, seperti menyusun ulang puzzel dengan kombinasi yang baru. Lalu, apakah mimpi juga bisa menjadi Ingatan? Sherry dan Ruft, yang mana Ingatan yang asli?

2 comments:

  1. Bro tambah lagi donk semangkok... ehh sebuku :-). udah keluar nehh bukunya?? kl mau nyari dimana nehh?? and apa penerbitnya??

    ReplyDelete
  2. mungkin ini adalah edit terakhir, doakan aja cepet selesai supaya cepat masuk ke penerbit, haha

    ReplyDelete